OPINI

Kemiskinan Ekstrem Nol Persen, Realistis atau Utopis?

Kemiskinan ekstrem menjadi PR besar Indonesia. Berbagai program pengentasan kemiskinan nyata tak menunjukkan hasil yang memuaskan. Kemiskinan masih saja menjadi momok menakutkan bagi masyarakat. Target kemiskinan ekstrem hilang atau nol persen pada 2024 yang digagas Presiden Jokowi sejak 2020 pun tampaknya makin tak realistis.

Ya, target ambisius Presiden Jokowi menghilangkan kemiskinan ekstrem pada 2024 dinilai tidak realistis oleh sejumlah pengamat ekonomi. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah pun hanya itu-itu saja. Upaya parsial yang tidak menuntaskan masalah hingga ke akarnya. Selain itu, seolah menjadi rahasia publik, berbagai bansos yang diberikan pemerintah kerap kali disunat oleh para pejabat dan tidak tepat sasaran.

Menurut Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Bhima Yudhistira, bansos yang diberikan pemerintah kerap kali dikorupsi oleh para pejabat. Sebutlah, korupsi yang dilakukan oleh Juliari Batubara. Korupsi bansos ini pun cenderung terus berulang.

Bhima pun menilai sebaik apa pun program bansos dan berjilid-jilid, kalau penyimpangannya cukup marak terjadi maka programnya jadi tidak efektif. Program bansos seolah hanya dijadikan proyek rutin saja, apalagi jelang pemilu, bansos kerap dijadikan money politic untuk membeli suara rakyat miskin.

Ekonom Indonesia Development and Islamic Studies (IDEAS), Shofie az-Zahra, juga menyoroti data bansos yang tidak tepat sasaran. Shofie menyebut program bansos berbasis cash transfer tidak cukup ampuh menuntaskan kemiskinan ekstrem.

Menurutnya, pemerintah seharusnya lebih intens memberikan program yang dapat mengentaskan kemiskinan, yakni dengan memberdayakan masyarakat daripada hanya fokus pada cash transfer. Sebab, kemiskinan merupakan masalah multidimensional, tidak cukup dihilangkan hanya dengan cash transfer. (cnnindonesia.com, 11/4/2023).

Target kemiskinan ekstrem nol persen sejatinya menjadi hal mustahil dalam naungan sistem kapitalisme. Jika ditelaah, berbagai program pengentasan kemiskinan nyatanya hanya ditujukan untuk mengotak-atik angka kemiskinan sesuai standar lembaga dunia atau pemerintah, bukan untuk menghilangkan kemiskinan secara nyata dan tuntas. Program tersebut pun hanyalah solusi tambal sulam yang alih-alih mengentaskan kemiskinan, sebaliknya malah mengundang masalah baru.

Kemiskinan merupakan salah satu konsekuensi dari penerapan sistem kapitalisme. Sebab dalam paradigma sistem ini, peran negara hanya sebagai regulator bagi kepentingan oligarki kapital, bukan sebagai pelayan dan pengurus urusan rakyat.

Buktinya, berbagai regulasi yang ada alih-alih menyokong berbagai program pengentasan kemiskinan, sebaliknya justru melanggengkan bahkan melahirkan kemiskinan baru. Sebutlah, kebijakan kenaikan tarif listrik, penghapusan subsidi BBM dan gas, peningkatan pajak, dan UU Cipta Kerja adalah segelintir regulasi yang makin mencekik ekonomi rakyat. Alhasil, apalah artinya beragam program bansos, sedangkan rakyat terus tercekik berbagai regulasi yang memiskinkan rakyat.

Di sisi lain, tuan penguasa justru mengakomodasi kepentingan oligarki kapital dengan berbagai regulasi yang ada. Sebutlah, Perppu Cipta Kerja yang baru-baru ini disahkan (kembali) menjadi UU Cipta Kerja. Gelombang tsunami penolakan undang-undang ini nyatanya tak membuat tuan wakil rakyat urung mengesahkannya. Padahal undang-undang ini sejatinya tidak hanya menjadi kepanjangan tangan oligark untuk merampok dan merusak kekayaan negeri ini, tetapi juga mendorong rakyat ke jurang derita dan nestapa yang tak berujung.

Rasanya makin mustahil mengentaskan kemiskinan dalam pusaran kapitalisme. Sistem ini justru menjadi biang kemiskinan. Solusinya pun semu bak fatamorgana. Alhasil, rakyat miskin tambah miskin, rakyat menengah bisa jadi jatuh miskin.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button