NUIM HIDAYAT

Kenangan Indah Bersama Hizbut Tahrir

Taqiyudin an-Nabhani dilahirkan di daerah Ijzim, Palestina pada 1909. Ia mendapat didikan ilmu dan agama di rumah dari ayahnya sendiri, seorang syaikh yang faqih fid din. Ayahnya seorang pengajar ilmu-ilmu syariah di Kementerian Pendidikan Palestina. Ibunya juga menguasai beberapa cabang ilmu syariah, yang diperolehnya dari ayahnya, Syaikh Yusuf bin Ismail bin Yusuf An-Nabhani. Beliau ini adalah seorang qadly (hakim), penyair, sastrawan, dan salah seorang ulama terkemuka di masa Daulah Utsmaniyah.

Syekh Taqiyudin kemudian meneruskan pendidikannya di Tsanawiyah Al Azhar pada tahun 1928 dan pada tahun yang sama ia meraih ijazah dengan predikat sangat memuaskan. Lalu ia melanjutkan studinya di Kulliyah Darul Ulum yang saat itu merupakan cabang Al Azhar.

Taqiyudin An-Nabhani menamatkan kuliahnya di Darul Ulum pada tahun 1932. Pada tahun yang sama ia menamatkan pula kuliahnya di Al Azhar Asy Syarif menurut sistem lama, di mana para mahasiswanya dapat memilih beberapa syekh Al Azhar dan menghadiri halaqah-halaqah mereka mengenai bahasa Arab, dan ilmu-ilmu syari’ah seperti fiqih, ushul fiqih, hadits, tafsir, tauhid (ilmu kalam), dan yang sejenisnya.

Setelah menyelesaikan pendidikannya, Taqiyudin kembali ke Palestina untuk kemudian bekerja di Kementerian Pendidikan Palestina sebagai seorang guru di sebuah sekolah menengah atas negeri di Haifa. Di samping itu beliau juga mengajar di sebuah Madrasah Islamiyah di Haifa.

Pada 1948, sahabatnya Al Ustadz Anwar Al Khatib mengirim surat kepadanya, yang isinya memintanya agar kembali ke Palestina untuk diangkat sebagai qadly di Mahkamah Syar’iyah Al Quds. Syekh Taqiyudin mengabulkan permintaan itu dan kemudian ia diangkat sebagai qadhi di Mahkamah Syar’iyah Al Quds pada tahun 1948. Kemudian, oleh Kepala Mahkamah Syar’iyah dan Kepala Mahkamah Isti’naf saat itu –yakni Al Ustadz Abdul Hamid As Sa’ih– ia lalu diangkat sebagai anggota Mahkamah Isti’naf, dan ia tetap memegang kedudukan itu sampai 1950.

Pada tahun 1950 inilah, ia lalu mengajukan permohonan mengundurkan diri, karena Taqiyudin mencalonkan diri untuk menjadi anggota Majelis Niyabi (Majelis Perwakilan).

Pada tahun 1951, Taqiyudin mendatangi kota Amman untuk menyampaikan ceramah-ceramahnya kepada para pelajar Madrasah Tsanawiyah di Kulliyah Ilmiyah Islamiyah. Hal ini terus berlangsung sampai awal tahun 1953, ketika ia mulai sibuk dalam Hizbut Tahrir, yang telah ia rintis antara tahun 1949 hingga 1953.

Publikasi pembentukan partai ini secara resmi tersiar tahun 1953, pada saat Taqiyudin mengajukan permohonan resmi kepada Departemen Dalam Negeri Yordania sesuai Undang-Undang Organisasi yang diterapkan saat itu. Dalam surat itu terdapat permohonan izin agar Hizbut Tahrir dibolehkan melakukan aktivitas politiknya.

Dalam surat itu terdapat pula struktur kepengurusan Hizbut Tahrir dengan susunan sebagai berikut:

  1. Taqiyudin An-Nabhani, sebagai Pemimpin Hizbut Tahrir.
  2. Dawud Hamdan, sebagai Wakil Pemimpin merangkap Sekretaris.
  3. Ghanim Abduh, sebagai Bendahara.
  4. Dr. Adil An Nablusi, sebagai Anggota.
  5. Munir Syaqir, sebagai Anggota.

Oleh karena itu, Taqiyudin kemudian menjalankan aktivitas secara rahasia dan segera membentuk Dewan Pimpinan (Qiyadah) yang baru bagi Hizb, di mana ia sendiri yang menjadi pucuk pimpinannya. Dewan Pimpinan ini dikenal dengan sebutan Lajnah Qiyadah. Ia terus memegang kepemimpinan Dewan Pimpinan Hizb ini sampai wafatnya beliau pada tanggal 25 Rajab 1398 H, bertepatan dengan tanggal 20 Juni 1977 M.

Di bawah kepemimpinannya, Hizbut Tahrir telah melancarkan beberapa upaya pengambil-alihan kekuasaan di banyak negeri-negeri Arab, seperti di Yordania pada tahun 1969, di Mesir tahun 1973, dan di Iraq tahun 1972. Juga di Tunisia, Aljazair, dan Sudan. Sebagian upaya kudeta ini diumumkan secara resmi oleh media massa, sedang sebagian lainnya memang sengaja tidak diumumkan.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button