NUIM HIDAYAT

Kenangan Indah Bersama Hizbut Tahrir

Khilafah

Hizbut Tahrir beraktivitas di seluruh dunia Islam untuk memperkuat komunitas Muslim yang hidup secara Islami dalam pikiran dan perbuatannya, dengan terikat pada hukum-hukum Islam dan menciptakan identitas Islam yang kuat. Hizbut Tahrir juga beraktivitas bersama-sama komunitas Muslim di Barat untuk mengingatkan mereka agar menyambut seruan perjuangan mengembalikan Khilafah dan menyatukan kembali umat Islam secara global.

Hizbut Tahrir juga berupaya menjelaskan citra Islam yang positif kepada masyarakat Barat dan terlibat dalam dialog dengan para pemikir, pembuat kebijakan dan akademisi Barat.

Yang menarik tentang khilafah ini, Taqiyudin an-Nabhani menyatakan:

“…mengadakan banyak seminar tentang Khilafah, bukanlah jalan yang mengantarkan pada pembentukan Negara Islam.  Upaya menyatukan negara-negara yang memerintah negeri-negeri Islam bukanlah sarana yang bisa membangun Negara Islam.  Piagam atau deklarasi yang dikeluarkan berbagai muktamar bangsa-bangsa Islam, bukanlah bentuk perwujudan yang mampu menciptakan kehidupan yang Islami.  Semua itu dan yang sejenisnya bukanlah jalan (thariqah). 

Itu adalah hiburan sesaat yang sedikit menyegarkan jiwa kaum Muslimin.  Kemudian semangat muktamar itu lambat laun menjadi padam.  Setelah itu duduk-duduk santai tanpa melakukan aktivitas yang nyata. Lebih dari itu semuanya adalah jalan yang bertentangan dengan thariqah Islam.

Metode satu-satunya untuk mendirikan negara Islam hanya dengan mengemban dakwah Islam dan berbuat nyata dalam mewujudkan kehidupan yang Islami.  Hal ini menuntut menuntut satu kesatuan yang utuh.  Karena umat Islam adalah satu.  Mereka adalah kumpulan manusia yang dikumpulkan oleh aqidah yang satu. Dari situ sistem negara Islam memancar.” 

Dengan konsep khilafahnya, Taqiyuddin menentang habis nasionalisme:

“Ikatan kebangsaan (nasionalisme) tumbuh di tengah-tengah masyarakat, tatkala pola pikir manusia mulai merosot. Ikatan ini terjadi ketika manusia mulai hidup bersama dalam satu wilayah dan tidak beranjak dari situ…” 

“Ikatan nasionalisme (rabithah wathaniyah) ikatan yang rusak karena 3 hal: pertama, ikatan yang rendah karena tidak mampu mengikat satu manusia dengan yang lain menuju jalan kebangkitan. Kedua, ikatan reaksioner, yang selalu didsarkan pada perasaan yang muncul secara spontan dari naluri mempertahankan diri.  Juga ikatan ini sangat berpeluang berubah-ubah sehingga tidak bisa dijadikan ikatan yang langgeng antara manusia satu dengan yang lain. Ketiga, ikatan temporal, muncul saat membela diri karena datangnya ancaman.  Dalam keadaan stabil, ikatan ini tidak muncul.  Karena itu, ia tidak bisa dijadikan pengikat antara sesama manusia.” 

***

Negeri Islami

Ada kesamaan pemikiran empat tokoh di atas, Natsir, Hassan al Banna, Maududi dan Taqiyuddin an-Nabhani sama-sama menginginkan terbentuknya negeri Islam atau masyarakat Islam. Mereka sama-sama menekankan pentingnya pembentukan pribadi Muslim, Keluarga Muslim, Masyarakat Muslim dan Negeri Islam. Mereka juga sama-sama menginginkan jalan damai bagi pembentukan negeri Islam.

Perbedaannya adalah pada cara pembentukan negera Islam itu, struktur negara Islam dan nama negara Islam itu. 

Dalam pandangan Mohammad Natsir, Islam tidak mengatur nama dan struktur negara Islam. Natsir menyatakan bahwa negara harus berlandaskan Islam dan pemimpin dalam negara itu harus bertekad melaksanakan hukum Islam dalam masalah individu, keluarga, masyarakat maupun negara.

Natsir menyetujui istilah demokrasi Islam dan Natsir menerima negera Indonesia sebagai sebagai negeri Islam yang berdasarkan Pancasila (bagian dari UUD 45 yang dijiwai oleh Piagam Jakarta sesuai dengan Dekrit Presiden RI 5 Juli 1959).

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button