NUIM HIDAYAT

Ketika Goenawan Mohamad Anti Islamisme

Di negeri kita, Partai Islam Masyumi pernah berjaya meraih nomor dua dalam pemilu 1955. Tapi karena Presiden Soekarno terlalu dekat dengan komunis, maka pada tahun 1960 Masyumi dibubarkan. Masyumi direhabilitasi tahun 1967, tapi tokoh-tokohnya tidak boleh berpolitik di masa Presiden Soeharto.

Jadi pengalaman di banyak negara, dan khususnya negeri kita, gerakan Islam politik senantiasa melakukan gerakan dengan damai (gerakan PRRI dan DI/TII timbul karena presiden terlalu dekat dengan komunis dan kekosongan pemerintahan saat itu). Malahan, sejarah dunia mencatat, Islam masuk dan mewarnai Nusantara ini abad ke-7 dengan damai.

Gerakan kekerasan, biasanya timbul, karena musuh-musuh Islam yang memulai. Seperti ketika Belanda dan Portugis datang ke tanah air, melakukan penjajahan dan tindak kekerasan, sehingga tampil pahlawan-pahlawan Islam dari seluruh pelosok tanah air.

Dalam politik, memang seringkali terjadi adu argumentasi, adu gagasan bahkan kadang adu kekuatan dan seterusnya. Beda dengan dunia tasawuf, yang cenderung ‘manusia bersepakat’.

Dalam politik, kaum non-muslim biasanya menyatu dengan kaum sekuler (Muslim) untuk mengegolkan pemikiran-pemikirannya agar mewujud dalam kebijakan negara. Begitu pula kaum Muslim akan berusaha sekuat tenaga mewujudkan gagasan-gagasan Islaminya. Di sinilah benturan itu terjadi.

Maka menyadari kenyataan ini, politisi-politisi Islam sejak kemerdekaan 1945 sepakat menempuh jalur demokrasi dalam perjuangannya. Mayoritas tokoh-tokoh Islam dan ormas-ormas Islam saat itu, dua bulan setelah merdeka (November 1945) sepakat membentuk Partai Islam Masyumi. Mereka sadar bahwa di masyarakat Indonesia yang majemuk ini, ada kekuatan-kekuatan minoritas –yang didukung asing- yang tidak bisa diremehkan kekuatannya.

Walhasil, bila Islamisme atau gerakan Islam politik ini dihilangkan di tanah air, maka non Muslim dan kaum sekuler akan menguasai seluruh sektor di negeri ini. Setelah sebelumnya mereka menguasai sektor ekonomi, budaya, media massa dan lain-lain.

Dan itulah tampaknya yang diinginkan Barat dan cendekiawan pembebeknya. Entah mengapa Haidar Bagir dan Jalaluddin Rahmat ikut-ikutan mengampanyekannya. Mungkin karena mereka berdua sepakat bahwa faham pluralisme agama itu benar adanya. Wallahu a’lam.

Sihir ‘pemikiran Barat’, memang menyilaukan mata dan pikiran.

Kita mungkin sepakat bila dinyatakan bahwa Islam menyiratkan nilai-nilai politis tertentu namun tidak mensyaratkan suatu tata pemerintahan khusus. Tapi bila dinyatakan Islam tidak berurusan dengan politik (Islam Politik/Islamisme dalam pengertian ini), maka itu menyalahi ijmak ulama yang saleh. 

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button