Ketika Islam Menguat di Tanah Jawa: Sebuah Catatan Perjalanan
Mengutip pendapat Syed Naquib Al-Attas, Ustaz Arif dalam bukunya “Berebut Indonesia” menulis, pengaruh agama Hindu-Budha hanyalah tersebar di sekitar istana. Masyarakat pada umumnya masih bertahan dengan agama lamanya.
Lantas pertanyaannya, apa agama lama penduduk lokal sebelum Islam datang?
Arif Sunyoto dalam “Atlas Walisongo” menyatakan, masyarakat Indonesia dulu sudah mengenal konsep ke-Tuhan-an (beragama), bernama Kapitayan.
Kepercayaan ini boleh dikatakan hampir mirip dengan Islam sekalipun tidak benar mirip. Ini bisa dilihat dari rohaniwan Kapitayan yang melakukan ritual sembahyang dengan ketentuan yang sedikit menyerupai gerakan shalat.
Dan nantinya dengan prinsip dakwah para ulama, unsur-unsur budaya lokal dalam kepercayaan Kapitayan yang beragam mampu diserap dan dimanfaatkan oleh Walisongo.
Sebagai contoh, dalam usahanya “membumikan” nilai Islam ke masyarakat, Walisongo memanfaatkan sejumlah benda hasil tradisi keagamaan setempat yang sebelumnya tidak terdapat dalam ajaran Islam. Semisal bedhug, yaitu tambur tengara untuk sembahyang yang sebelumnya ada di sanggar Kapitayan, tumpeng yang sebelumnya merupakan sesaji dalam ajaran Kapitayan, tumbal, yaitu sarana magis untuk upacara tulak-balak, gunungan, yaitu sarana yang digunakan dalam upacaya Grebeg Suro. (Arif Sunyoto, Atlas Walisongo, hal. 156-186).
Kembali kepada Hindu-Budha. Sekali lagi ia tidaklah dikenal oleh warga lokal kecuali kalangan elite Keraton. Adalah orientalis-misionaris yang mencoba mempopulerkan Hindu-Budha sebagai variabel penting dalam masyarakat jawa. Tujuannya tidak lain adalah menjauhkan Islam dari pemeluknya alih-alih menyadarkan masyarakat jawa –yang mayoritas adalah Islam—dengan peninggalan pendahulunya
Salah satu tokoh yang mempopulerkan hal tersebut adalah Petris Josephus Zoetmulder. Dalam disertasinya yang terbit pada 1935 ia menyebut, Manunggaling Kawula Gusti yang sering dianggap sebagai bentuk asli konsep ketuhanan masyarakat Jawa adalah suatu bentuk asli konsep Ketuhanan masyarakat Jawa, adalah suatu bentuk pandangan monistis yang berasal dari ajaran Atman Hindu. Teori ini tepat dan telah dibantah oleh Syed Muhammad Naquib Al-Attas dalam buku “Islam dan Sekularisme.”
Selain tidak kuatnya pengaruh Hindu Budha, menurut Ustadz Arif, ada sejumlah faktor yang membuat akselerasi tersebarnya dakwah Islam di Jawa. Diantaranya, kematian moral Hindu-Budha di kalangan Keraton.
Salah satunya penderitaan rakyat jelata dari kasta sudra dan paria seperti para petani, peternak dan pedagang kecil yang termasuk dalam kasta tersebut yang dipaksa untuk melakukan kerja bakti membangun candi selama puluhan tahun. Akhirnya para penduduk memilih untuk eksodus keluar dari pusat-pusat pembangunan candi.
Demikian juga dengan lahirnya satu aliran ekstrim bernama Siwa-Budha Bairawa Tantra yang terlihat tragis dan sadis. Diantara ritualnya adalah manuya (minum darah dan memakan daging gadis yang dijadikan kurban), serta maithuna (ritual seks massal di tanah lapang). Bagi masyarakat Jawa ritual Tantraisme tidak hanya jahat kepada Tuhan tapi juga jahat pada manusia.