RESONANSI

Ketika Islam Menguat di Tanah Jawa: Sebuah Catatan Perjalanan

Jawa yang Terislamkan

Manifestasi dari proses Islamisasi yang dilakukan Walisongo adalah kenalnya masyarakat Jawa dengan nilai dan syariat Islam. Bahkan tidak hanya kenal, melainkan melekat.

Hal ini bisa dibuktikan saat mereka mampu menciptakan istilah lokal yang khas, yang menggantikan istilah baku Islam yang berasal dari bahasa Arab, seperti sebutan Gusti Kang Murbeng Dumadi menggantikan kalimat Allah Tuhan Yang Maha Pencipta, atau “Kanjeng Nabi” sebutan hormat yang bermakna junjungan kita pada Nabi Muhammad.

Begitupun saat mereka mampu merekonstruksi sejumlah istilah yang tidak bisa diartikan kecuali dengan makna Islam, seperti istilah upawasa (poso) sembahyang, suwargo, neroko. Meskipun mengadopsi bahasa lain, namun pemaknaannya Islam.

Menurut Ustadz Arif, proses ini mendorong rakyat jawa berbondong-bondong masuk Islam. Se-abang-abangannya orang Islam di daerah pedalaman, yakni sekalipun ia tidak melakukan sembahyang, bisa dipastikan ia mengenal Allah dan Rasul-Nya. Hanya saja belum melaksanakan sembahyang.

Proses Islamisasi masyarakat Jawa ini menurut Arif Wibowo adalah transisi-transisi budaya yang terus berlanjut dan tidak pernah henti. Inilah yang membuat orang jawa akhirnya melihat diri mereka secara alamiah memikiki identitas pokok yang didefinisikan Islam.

Kuatnya identitas Islam dari masyarakat Jawa dapat dilihat dari kasus Kiai Sadrach, seorang guru ngelmu (pinisepuh) yang menjadi cikal bakal tumbuhnya komunitas Kristen dalam masyarakat Jawa.

Dalam mengenalkan Kristen ke masyarakat Sadrach menyebut gerejanya dengan masjid, menggunakan istilah imam, memakai bedhug sebelum memulai upacara dan mengakhir dengan slametan. Ia seperti memiliki kepercayaan ganda separuh Islam dan separuh Kristen. Hal ini dilakukan karena Islam yang saat itu sudah mengakar di tanah Jawa.

Namun pada akhirnya usaha Sadrach untuk mengenalkan Kristen sia-sia. Hal ini karena integrasi yang sangat kuat pandangan metafisika Islam ke dalam masyarakat Jawa.

Dan selain itu menjadi Kristen saat itu bagi orang Jawa adalah aib terbesar dalam hidup. Ia akan menyandang gelar “wong jawa ilang jawane” atau “jawa wurung landa durung”.  (Berebut Indonesia, hal. 38)

Depok, 21 Oktober 2022

Bana Fatahillah, Lc., Guru Pesantren At-Taqwa Depok.

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5

Artikel Terkait

Back to top button