RESONANSI

Ketika Islam Menguat di Tanah Jawa: Sebuah Catatan Perjalanan

Sebagai keturunan Raja Majapahit, ia melakukan dakwah dengan memasukan nilai dan syariat Islam ke dalam perundang-undangangan (saat itu bernama Manawa Dharmasashtra) yang berlaku masa Majapahit. Pun dengan seni budaya yang saat itu berkembang pesat di tangannya dengan mempertimbangkannya dengan nilai Islam.

Ranah Seni Budaya turut  dimainkan oleh Sunan Kalijaga –salah satu destinasi yang kami kunjungi dalam rihlah. Melalui wayang, Sunan Kalijaga mengajarkan tasawuf kepada masyarakat. Ia melakukan reformasi bentuk wayang yang sebelumnya berbentuk gambar manusia menjadi gambar dekoratif dengan proporsi tubuh tidak mirip manusia. Cerdiknya, masyarakat yang ingin nanggap wayang bayarannya tidak berupa uang, melainkan cukup membaca dua kalimat syahadat, sehingga dengan cara itu Islam berkembang cepat.

Tidak hanya dari wayang, Sunan Kalijaga juga mengembangkan dakwah lewat tembang yang digubahnya. Diantaranya adalah tembang lir-ilir yang sering dinyanyikan di berbagai majelis shalawat. Meski sederhana, tembang ini memuat ajaran spiritual.

Dalam ranah politik ada Sunan Gunung Jati, yang merupakan salah satu destinasi yang kami kunjungi di Cirebon.

Sebagai informasi, Makam Sunan Gunung Jati tidak bisa dikunjungi langsung oleh peziarah. Hal ini karena areanya terletak tingkat sembilan dengan sembilan pintu gerbang. Setiap gerbang memiliki nama yang berbeda. Para peziarah hanya diperbolehkan ziarah sampai ke pintu ketiga.

Strategi dakwah yang dijalankan sunan Gunung Jati adalah memperkuat kedudukan politis sekaligus memperluas hubungan dengan tokoh-tokoh berpengaruh di Cirebon, Banten dan Demak melalui pernikahan. Hal ini sebagaimana yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad Saw dan sahabatnya.

Salah satu yang dinikahi oleh Maulana Syarif adalah Ong Tien, seorang perempuan China, Putri Kaisar China dari Dinasti Ming Hong Gie.

Pak Bambang Irianto, keturunan Sunan Gunung Jati ke-17 yang mengantarkan kami ke pemakaman Sunan Gunung Jati bercerita bahwa Ong Tien adalah  perempuan yang menyerahkan dirinya untuk dinikahi. Hebatnya permohonan itu berlangsung di hadapan mertua Sunan Gunung Jati. Mertuanya pun mengizinkannya.   

Tidak hanya bersentuhan dengan budaya. Walisongo juga berinteraksi dengan masyarakat lewat ranah yang lebih intens yaitu pendidikan. Walisongo melakukan proses Islamisasi dengan mengambil-alih lembaga pendidikan Syiwa-Buddha yang disebut “dukuh” kemudian diformat sesuai ajaran Islam.

Dukuh kemudian disebut “pesantren” (tempat santri belajar). Kata santri adalah adaptasi dari istilah sashtri yang bermakna orang-orang yang mempelajari kitab suci (sashtra).

Jika era Majapahit memuat tatakrama siswa di “dukuh” dengan sebutan “Gurubakti” yang berisikan tata tertib, sikap hormat dan sujud bakti yang harus dilakukan para siswa kepada guru rohaninya. Maka para Walisongo mewujudkan gurubakti tersebut dengan adab tatanan adab sebagaimana yang tertera dalam kitab Ta’lim al-Muta’allim karya Syekh Az-Zarnuji.  

Laman sebelumnya 1 2 3 4 5Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button