NASIONAL

Ketua MIUMI: Harus Dibangun Kesadaran Politik Bangsa yang Beradab

Jakarta (SI Online) – Ketua Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia (MIUMI), Prof. Dr. KH. Hamid Fahmy Zarkasyi, mengatakan, makna politik itu sangat luas. Berpolitik adalah berkesadaran berbangsa dan bernegara, termasuk sadar akan sejarah dan masa depan bangsa dan negara. Bukan sekadar ajang mengerahkan massa demi mencari jabatan melalui proses pemilihan umum.

Dalam konteks sejarah, kesadaran berbangsa kita perlu dibangun dengan mengingat besarnya pengorbanan para pendiri (Founding Fathers) bangsa ini dalam meraih kemerdekaan. Bahkan bukan hanya pengorbanan yang besar mereka tapi juga ide-ide besar, cita-cita besar untuk bangsa ini. Inilah kesadaran yang mulai dilupakan.

Bagi umat Islam, kesadaran itu bahkan perlu ditarik lebih kebelakang lagi. Yaitu betapa besarnya peran Islam dalam mencerdaskan bangsa Melayu Nusantara. Sebelum Islam datang bangsa ini terbelenggu oleh kepercayaan animisme dan dinamisme. Islam dengan pandangan hidupnya yang rasional, praktis dan sistimatis diterima oleh bangsa Melayu secara alami dan sukarela. Islam datang ke Nusantara tidak menggunakan senjata apapun sehingga tidak terdapat peperangan besar.

“Inilah sejatinya yang dinamakan proses Islamisasi” kata Prof. Hamid dalam webinar “Merajut Kesadaran Politik Bangsa” yang Beradab melalui kanal Youtube MIUMI, dikutip, Kamis (13/8/2021).

Rektor Universitas Darussalam (Unida) Gontor, Ponorogo, ini mengingatkan agar kata “Islamisasi “ tidak dipahami sebagai penjajahan, sehingga Islam dianggap sebagai agama penjajah atau agama pendatang. Cara berfikir seperti ini berbahaya karena semua agama yang ada di Indonesia adalah pendatang. Bahkan ada agama yang jelas-jelas dibawa oleh penjajah. Islam datang ke nusantara tidak untuk mengeruk harta tapi justru untuk mencerdaskan bangsa ini. Dari pandangan hidup yang penuh mitologi, menjadi pandangan hidup yang realistis, rasional dan praktis. Maka, tidak logis kalau fakta sejarah ini dibalik menjadi nusantara yang mencerdaskan Islam, atau Islam yang “dinusantarakan”, itu a-historis katanya.

Kesadaran bahwa bangsa ini dibangun oleh umat Islam sebenarnya menjadi fakta sejarah. Faktanya yang tidak bisa dipungkiri bahwa 90% lebih anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia adalah Muslim. Ini potongan sejarah penting yang tidak bisa dihilangkan, sebab peran dan perjuangan mereka tercermin dalam terma-terma, kata kunci dan konsep yang termaktub dalam Dasar Negara, Undang-Undang Dasar, keputusan-keputusan. Bahkan nama parlemen kita menggunakan Bahasa Islam. Semuanya bermuara pada Ketuhanan yang Maha Esa yaitu Sila pertama yang menjadi basis pancasila.

“Kesadaran untuk historis inilah yang sekarang ini mulai hilang dari generasi ke generasi. Maka dari itu sebagai umat Islam kita harus menghidupkan kembali kesadaran ini. Kesadaran sejarah, kesadaran memiliki, kesadaran berperan serta membangun bangsa, kesadaran meluruskan ideologi bangsa yang tercermar oleh paham-paham asing yang menguasai dan merusak kita,” kata Prof. Hamid.

Bahkan, menurutnya, kesadaran itu ditingkat individu baik awam maupun pemimpin negara, atau pemimpin politik harus ditingkatkan menjadi gerakan-gerakan menuju cita-cita bangsa yang luhur.

Politik Bangsa

Prof. Hamid lebih lanjut menjelaskan bahwa gerakan yang berasal dari kesadaran berbangsa itulah politik bangsa yang sesungguhnya. Sudah tentu gerakan harus berbasis pada ilmu dan konsep. Maka konsep nasionalisme, konsep musyawarah memilih pemimpin, konsep mengelola kakayaan alam, konsep sumber daya manusia, konsep amanat sebagai pejabat harus disesuaikan dengan cita-cita luhur bangsa ini.

Jika kesadaran berpolitik seperti ini dimiliki oleh seluruh elemen bangsa maka bangsa ini adalah berbangsa yang beradab. Tafsir kata beradab tidak sederhana. Kata beradab merupakan kata kesatuan dari ilmu, iman, amal atau syariah, akidah, dan akhlak. Dalam bahasa “worldview” perbuatan manusia itu harus sesuai dengan keyakinan dan pikiran atau ilmunya.

Dengan ilmu dan kesadaran pada cita-cita luhur itu, rakyat diharapkan dapat memilih pemimpin yang berilmu, beriman dan berakhlak, pemimpin yang membawa aspirasi dan memperjuangkan nasib rakyat. Jika kesadaran ini kemudian diikuti oleh pejabatnya, baik anggota DPR-MPR, Menteri, pegawai negeri, maka negara ini sungguh beradab.

Dalam Islam, para politikus Muslim dituntut untuk tidak berislam dengan sekadar menjalankan ritual (rukun Islam), tapi berislam pada tingkat iman dan amal. Jika sudah pada tingkat ini dijamin aka nada persatuan dan ukhuwwah antar partai politik Islam, karena ciri orang beriman itu berukhuwwah. Ciri orang beriman lainnya adalah berjuang dengan jiwa dan hartanya.

“Pertanyaanya, apakah dalam berpolitik kita sudah berukhuwwah? Apa sudah berjuang dengan jiwa dan harta? Nampaknya realitasnya belum. Karena para politisi pada umumnya tidak berjuang dengan jiwa dan harta, tapi orang berjuang dalam politik demi harta dan jiwa alias demi mencari penghidupan yang ujung-ujungnya adalah korupsi,” pungkas Prof. Hamid.

red: nuim hidayat

Artikel Terkait

Back to top button