NASIONAL

Ketum Dewan Da’wah: 22 Juni Hari Penting, Nggak Kalah Penting dengan 1 Juni  

Jakarta (SI Online) – Ketua Umum Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia (DDII), Dr. Adian Husaini mengusulkan agar tanggal 22 Juni juga bisa diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, disamping tanggal 1 Juni dan 18 Agustus.

Usulan itu disampaikan dalam acara Peringatan Hari Lahirnya Piagam Jakarta, 22 Juni 2021, dan bedah buku karyanya berjudul “Islam dan Pancasila”.

Dalam pemaparannya, Dr. Adian menunjukkan fakta bahwa sosok Bung Karno adalah aktor utama dalam perumusan Pancasila pada ketiga peristiwa tersebut.

Pada 1 Juni 1945, Bung Karno menyampaikan pidato bersejarah di BPUPK dan menyampaikan lima sila yang diberi nama Pancasila. Kelima sila usulan Bung Karno itu adalah: (1) Kebangsaan Indonesia (2) Internasionalisme atau perikemanusiaan (3) Mufakat atau demokrasi (4) Kesejahteraan sosial (5) Ketuhanan.

Dr. Adian menunjukkan satu buku berjudul “Sejarah Lahirnya Pancasila” terbitan Yapeta Pusat, tahun 1995, yang menunjukkan data sejarah dan argumentasi yang kuat bahwa 1 Juni memang patut ditetapkan sebagai Hari Lahir Pancasila. Tetapi, lanjutnya, jangan lupa, bahwa rumusan sila 1 Juni itu baru usulan pribadi Bung Karno pada tahap awal. Dalam pidatonya, Bung Karno sangat menekankan kesepakatan dan persatuan semua pihak dalam BPUPK.

Rumusan kedua Pancasila yang lahir pada 22 Juni 1945 adalah hasil rumusan Panitia Sembilan, yang dibentuk dan dipimpin oleh Bung Karno. Menurut Adian, kejelian dan kecerdasan Bung Karno tampak dalam membaca situasi dan menggalang kebersamaan. Sembilan tokoh yang dipilih Bung Karno adalah orang-orang hebat dan mewakili dua aspirasi politik, yaitu golongan kebangsaan dan golongan nasionalis Islam.

“22 Juni itu hari penting, yang nggak kalah penting dengan 1 Juni,” kata Adian.

Rumusan Pancasila 22 Juni adalah: (1) Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya  (2) Kemanusiaan yang adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia (4) Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan (5) Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Rumusan Piagam Jakarta itu tetap dipertahankan Bun Karno, meskipun ada dari pihak kebangsaan yang menolak, dan ada juga dari pihak Islam.  “Jangan lupa, bahwa sampai menjelang akhir pemerintahannya, Bung Karno tetap membela Piagam Jakarta,” ujar Adian, yang juga Ketua Program Doktor Pendidikan Islam Universitas Ibnu Khaldun Bogor.

Pada 22 Juni 1965, Bung Karno masih menghadiri Peringatan Hari Lahir Piagam Jakarta, dan berpidato: “Nah, Jakarta Charter ini saudara-saudara, sebagai dikatakan dalam Dekrit, menjiwai UUD 1945 dan merupakan satu rangkaian kesatuan dengan Konstitusi tersebut… Itu menunjukkan bahwa sebagai tadi dikatakan Pak Roeslan Abdulgani, Jakarta Charter itu adalah untuk mempersatukan Rakyat Indonesia yang terutama sekali dari Sabang sampai Merauke, ya yang beragama Islam, yang beragama Kristen, yang beragama Budha, pendek kata seluruh Rakyat Indonesia dari Sabang sampai Merauke dipersatukan!”

Jadi, Bung Karno sendiri menegaskan, bahwa Piagam Jakarta adalah “untuk mempersatukan rakyat Indonesia”. Inilah contoh jiwa besar Bung Karno yang bersedia mengubah rumusan Pancasila 1 Juni 1945, menjadi rumusan Bersama, pada 22 Juni 1945. Bahkan, Bung Karno mempertahankan rumusan Pancasila 22 Juni 1945 itu sampai berakhirnya persidangan BPUPK.

Adian menjelaskan, ada perubahan makna yang mendasar antara “kemanusiaan” dengan “kemanusiaan yang adil dan beradab”. Begitu juga makna “kesejahteraan sosial” dengan “keadilan sosial”. Rumusan “Mufakat atau demokrasi”  berubah menjadi “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan”.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button