NASIONAL

Ketum Dewan Da’wah: 22 Juni Hari Penting, Nggak Kalah Penting dengan 1 Juni  

“Itu bukan perubahan kecil. Ada perubahan makna secara mendasar. Saya menduga kuat rumusan itu pengaruh dari empat tokoh Islam dalam BPUPK, khususnya Haji Agus Salim dan KH Wahid Hasyim. Ini dugaan saya,” ujar Adian.

Apalagi, kata Direktur At-Taqwa College Depok ini, rumusan Pancasila 22 Juni itu tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 yang tampak kuat pengaruh Islamic worldview-nya. Ia mencontohkan rumusan paragraf ketiga: “Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur…”.  “Itu rumusan aqidah Ahlus Sunnah wal-Jamaah,” ujar tokoh Perbukuan Islam 2020 lalu.

Karena itu, menurut Adian, cukup beralasan juga, jika tanggal 22 Juni diperingati sebagai Hari Lahir Pancasila, dengan tokoh utama perumusnya adalah Bung Karno. Sebab, rumusan Pancasila 22 Juni sudah jelas bentuknya dan menurut Bung Karno merupakan “hasil kompromi maksimal” yang bisa dihasilkan.

Rumusan Pancasila ketiga lahir pada 18 Agustus 1945.

Menyimak penjelasan Teuku Muhammad Hasan, anggota BPUPK dari Aceh, yang dimuat dalam buku “Sejarah Lahirnya Pancasila” terbitan Yapeta, tampak bahwa tokoh sentral dalam perubahan Piagam Jakarta, adalah Bung Karno. Hanya saja, Bung Hatta yang aktif di depan melobi Ki Bagus Hadikoesoemo dan tokoh Islam lainnya. Setelah melalui pergulatan berat, akhirnya diterima rumusan Pancasila 18 Agustus 1945, yang tak lain adalah rumusan Pancasila 22 Juni, minus “Tujuh Kata” dalam sila pertama.

Rumusan Pancasila 18 Agustus 1945 ini sempat berubah dalam Konstitusi RIS dan UUDS. Kata “Allah” sempat diganti “Tuhan”. Akhirnya, rumusan Pancasila 18 Agustus dikembalikan oleh Bung Karno melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Bahkan, Bung Karno menyatukan Piagam Jakarta dengan UUD 1945, dengan redaksi: “Bahwa kami berkeyakinan  bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut.”

Jadi, lagi-lagi, tokoh utama dalam perumusan Pancasila 18 Juni dan 5 Juli adalah Bung Karno. Karena itu, menurut Adian, demi menghargai kebhinekaan pendapat dan menjaga persatuan bangsa, lebih baik  masyarakat diberikan pilihan untuk memperingati Hari Lahir Pancasila, apakah 1 Juni, 22 Juni, 18 Agustus, atau 5 Juli.

“Yang diperlukan saat ini adalah kerja-kerja nyata untuk menjaga dan mengokohkan NKRI serta mewujudkan cita-cita Kemerdekaan, yaitu mewujudkan negara yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur. Sekarang saatnya menyatukan seluruh potensi bangsa untuk itu,” ujarnya. []

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button