Keunikan di Balik Bunyi Ghunnah, Quwwah dan Hams

Penjelasan ini langsung membuat saya berhenti membaca sejenak. Saya membayangkan seekor kijang betina yang merengek pelan karena anaknya hilang bukan karna suara keras, tapi samar, dalam, dan penuh getar. Dari situ, saya mulai membayangkan ulang ghunnah bukan sekadar suara “dengung” yang keluar dari hidung, tapi sebagai suara yang menyimpan emosi. Bukan hanya soal tempat keluarnya, tapi juga soal suasana yang dibawanya.
Perbandingan ini mungkin terdengar janggal jika dilihat dari sudut pandang teknis. Tapi justru di situlah letak keunikannya. Ia membuat saya bertanya: mungkinkah dulu orang memahami suara-suara bacaan ini tidak hanya sebagai bentuk bunyi, tapi juga sebagai rasa? Mungkin ghunnah bukan hanya dikenali dari suaranya, tapi juga dari nuansa lembut dan sedih yang dibawanya seperti tangis hewan yang kehilangan, bukan sekadar suara dengung datar.
Istilah kedua yang menarik perhatian saya adalah quwwah, yang dalam konteks ilmu tajwid biasa diterjemahkan sebagai “kekuatan bunyi”. Dalam buku-buku tajwid yang umum kita temui, huruf-huruf yang tergolong kuat biasanya ditandai dengan sifat syiddah yaitu bunyi yang keluar dengan tekanan, tanpa aliran napas yang panjang. Tapi lagi-lagi, penjelasan dalam manuskrip ini mengambil pendekatan yang berbeda. Tertulis di sana:
القوة سميت حروفها شديدة لمنعها النفس أن يجري معها لقوتها في مخارجها
“Disebut kuat karena mencegah napas mengalir bersamanya, disebabkan kekuatannya di tempat keluarnya huruf.”
Penjelasan ini sederhana, tapi terasa sangat logis. Ia tidak memakai istilah-istilah besar, hanya menggambarkan hubungan antara napas dan tempat keluarnya huruf. Bunyi dikatakan kuat karena ia menahan napas, seperti ada sesuatu yang menutup rapat di tenggorokan atau lidah, sehingga udara tidak bisa lolos begitu saja. Tidak perlu membayangkan teori fonetik yang rumit cukup rasakan saat kita mengucapkan huruf ق atau ط dan kita tahu apa yang dimaksud.
Bagi saya, penjelasan seperti ini menghidupkan kembali rasa penasaran terhadap bunyi-bunyi yang selama ini mungkin saya lafalkan tanpa terlalu banyak berpikir. Kita terbiasa mengucapkan huruf kuat dan huruf lemah karena itu yang diajarkan. Tapi jarang kita diajak merasakan bagaimana napas ditahan, bagaimana suara ditahan sejenak sebelum dilepas, dan bagaimana tubuh ikut bekerja dalam proses itu. Manuskrip ini tidak hanya memberi nama pada bunyi, tapi juga menunjukkan bagaimana ia bekerja di dalam tubuh secara sederhana, tanpa banyak istilah, tapi terasa nyata.
Istilah terakhir yang ingin saya bahas adalah hams. Dalam pelajaran tajwid, hams biasanya dijelaskan sebagai “napas yang terdengar saat melafalkan huruf-huruf tertentu” seperti huruf ف ث س) dan lain-lain. Tapi dalam manuskrip ini, penjelasannya terasa lebih lembut dan lebih menggambarkan karakter bunyi itu sendiri. Dalam manuskrip kitab tajwid itu dikatakan:
سميت حروفه مهموسة لضعفها وجريان النفس معها لضعف الاعتماد في مخارجها
“Huruf-huruf ini disebut ‘mahmuusah’ karena lemahnya suara, dan karena nafas mengalir bersamanya, akibat lemahnya penekanan di tempat keluarnya.”
Yang menarik dari penjelasan ini adalah bagaimana suara tidak dijelaskan sebagai sesuatu yang hanya “benar” atau “salah,” tapi sebagai sesuatu yang lemah, ringan, dan mengalir. Huruf-huruf hams tidak ditekan, tidak dipaksa keluar. Ia muncul seperti napas yang tak tertahan lirih, pelan, bahkan mungkin nyaris tak terdengar.
Penulis manuskrip ini tidak menyuruh kita menirukan suara, tapi mengajak kita memperhatikan cara suara itu bergerak bersama tubuh. Hams menjadi semacam gambaran bunyi yang tidak memaksa, tidak menabrak, tapi mengalir bersama udara. Penjelasan ini terasa manusiawi, bahkan puitis, tanpa harus mengada-ada. Bagi saya, penjelasan seperti ini justru membuka ruang untuk mengenali huruf-huruf tajwid bukan hanya dari sisi teknisnya, tapi juga dari karakternya. Ia mengajak kita mendengar lebih pelan, lebih jeli, dan lebih dalam.