KH Ahmad Dahlan: Tokoh Revolusioner Pendidikan Islam (2)
Menghadapi berbagai musibah itu, bersedihlah KH Ahmad Dahlan. Ketika Musholanya dirobohkan, dengan suara pelan ia berulangkali mengucap, ”Astaghfirullah, Astaghfirullah, Astaghfirullah.” Begitu pula ketika ia dicopot dari jabatannya di Masjid Agung.
Tapi sebagai ulama, ia menghadapi semuanya itu dengan tabah. Ia dengan pengikutnya kembali membangun Mushola itu. Sementara dengan jabatannya di Masjid Agung ia tidak memperdulikannya. Ia kini sibuk terus berdakwah dan mengembangkan usaha batiknya.
Pada 1903, KH Ahmad Dahlan berangkat pergi haji untuk kedua kalinya. Ia kemudian bermukim di sana selama lebih kurang tiga tahun lamanya. Di Mekkah, ia kembali menambah ilmu agamanya. Di sana ia belajar ilmu Fiqih kepada Syekh Mahfud at Tarmasy, Syekh Muhtaram al Banyumasy, Syekh Saleh Bafadhal, dan Syekh Said Babusyel. Ia juga beguru ilmu Hadits pada Mufti Syafi’i dan ilmu Qira’ah pada Syekh Ali Mishri. Di samping itu juga berguru intens pada Syekh Muhammad Khatib al Minangkabawy.
Baca juga: KH Ahmad Dahlan: Tokoh Revolusioner Pendidikan Islam (1)
Selama tinggal di Mekkah ini, ia berteman akrab dengan Kiai Nawawi dari Banten, Kiai Mas Abdullah dari Surabaya, Kiai Fakih Maskumambang dari Gresik dan lain-lain.
Pulang dari Mekkah, KH Ahmad Dahlan namanya makin terkenal. Pesantren yang dirintisnya di Kauman kini mendapat banyak santri dari luar daerah. Mereka datang dari Pekalongan, Batang, Semarang, Magelang dan Solo. Sedangkan dari Yogyakarta datang santri dari Bantul, Srandakan, Brosot dan Kulon Progo.
Pada 1907, di kota Yogyakarta berdiri sebuah pergerakan nasional yang bernama Budi Utomo. Perserikatan ini dipimpin oleh Dr Wahidin Sudiro Husodo, yang diikuti para sarjana dan kaum terpelajar. Termasuk para guru sekolah menengah Gouvernement Belanda, misalnya Kweekschool, Normalschool, Opledingschool, Osvia dan HK School. Pimpinan pusatnya antara lain Dr Wahidin Sudiro Husodo, Raden Budiharjo, Raden Dwijosewoyo, Raden Ngabehi Sosrosugondo, Pangeran Notodirejo Pakualaman, Raden Mas Gondoatmojo, dan Raden Mas Joyosumarto. Secara umum tujuannya adalah untuk memajukan pendidikan.
Melihat perkembangan Budi Utomo ini, KH Ahmad Dahlan tertarik. Ia kemudian mengundang Raden Mas Joyosumarto untuk berkunjung ke rumahnya dan menjelaskan tentang organisasi ini. Singkat cerita, Joyosumarto memenuhi undangan Kiai Dahlan. Ia kemudian menceritakan tentang Budi Utomo. Kiai Dahlan makin tertarik. Ia ingin berkenalan lebih jauh dengan tokoh-tokoh Budi Utomo.
Beberapa hari kemudian, Kiai Dahlan diundang rapat oleh Dr Wahidin di rumahnya, Ketandan Yogyakarta. Kedatangannya dalam rapat itu disambut gembira. Mereka gembira mendapat kedatangan tokoh ulama yang terkenal di Yogyakarta.
Setelah menghadiri tiga kali kegiatan dengan pengurus Budi Utomo, maka Kiai Dahlan tertarik untuk menjadi anggotanya. Tentu saja keinginannya itu disambut gembira oleh pengurus. Ia kemudian diterima sebagai anggota sekaligus pengurus.
Masuknya Kiai Dahlan ke Budi Utomo, karena ia ingin mewarnai gerakan itu dengan Islam. Ia ingin organisasi itu lebih dekat kepada umat Islam, dari pada pemerintah Belanda. Maka dalam beberapa kali pertemuan dengan pengurus Budi Utomo, ia memasukkan sedikit demi sedikit pengertian tentang Islam. Ia juga memasukkan materi agama Islam sebagai pelajaran tambahan kepada para siswa di Kweekschool (dahulu disebut Sekolah Raja) di Jetis Yogyakarta. Raden Budiharja yang saat itu menjabat sebagai Kepala Sekolah Kweekschool menerima dengan baik gagasan Kiai Dahlan itu. Maka sejak saat itu, pelajaran agama Islam menjadi salah satu materi pelajaran di sekolah umum.
Selain menjadi anggota dan pengurus Budi Utomo, KH Ahmad Dahlan juga menjadi anggota dan penasihat Jamiah Khairiyah Jakarta dan anggota Panitia Tentara Pembela Kanjeng Nabi Muhammad Saw.
Pengalamannya dalam organisasi dan silaturahmi dengan banyak ulama dan tokoh, menjadikan Kiai Dahlan semakin matang dalam kehidupan. Ia kemudian mempunyai gagasan untuk membuat organisasi besar sebagai kendaraan bagi umat Islam Indonesia.