NUIM HIDAYAT

KH Hasyim Asy’ari: Kiai yang Menggerakkan Revolusi (1)

Hasyim mondok di Pesantren Siwalan cukup lama, sekitar lima tahun. Karena kecerdasan dan ketekunan Hasyim ini, KH Ya’kup tertarik untuk mengambil menantu Hasyim. Saat ditawari tentang maksud Kiainya ini, Hasyim keberatan karena ia ingin terus memperdalam ilmunya. KH Ya’kup kemudian menasihatinya,

“Anakku Hasyim, benar kata Imam Mawardi dalam kitabnya Minhajul Yaqin bahwa orang yang memperdalam ilmu agama itu bagaikan orang yang sedang berada di lautan luas. Semakin jauh ke tengah bukan bertambah sempit, sebaliknya semakin luas dan dalam. Maka tidak beralasan bagi seseorang berhenti mencari ilmu karena perkawinan…”

Nasihat gurunya itu diperhatikannya benar. Akhirnya Hasyim luluh hatinya dan menerima permintaan gurunya. Setelah menikah, Hasyim dan istrinya diberangkatkan haji oleh mertuanya.

Di Mekkah inilah Hasyim makin bersemangat menggali ilmu lebih dalam. Di sana ia belajar dengan Syekh Ahmad Khatib Minangkabawi, Syekh Abdul Hamid al Darustany, Syekh Muhammad Syuaib dan lain-lain. Syekh Ahmad Khatib adalah ulama besar Indonesia yang menjadi imam, khatib dan guru besa di Masjidil Haram. Ia juga menjadi Mufti Mazhab Syafi’i pada abad 19 dan 20. Ia telah menulis 49 buku yang penyebarannya sampai ke Syria, Turki dan Mesir.

Setelah merasa cukup menimba ilmu di Mekkah, Hasyim pulang ke tanah air. Ia mengganti namanya menjadi Haji Hasyim Asy’ari untuk menghormati ayahnya.

Ia kemudian kembali ke Pesantren Gedang, milik kakeknya. Meski umurnya baru 20 tahun, tapi ilmunya tidak kalah dengan bapak dan kakeknya. Ditambah pengalamannya belajar ke banyak pesantren menjadikan Kiai Hasyim semakin matang mendidik para santri. Mereka menganggap bahwa apa yang disampaikan Kiai Hasyim lebih mudah untuk diterima akal dan mudah untuk diamalkan.

Pada 1893, Kiai Hasyim kembali melakukan ibadah haji yang kedua. Ia kembali menggali ilmu lebih dalam di sana. Ia belajar kepada Syekh Mahfud at Tarmasy pemimpin Pesantren Tremas, Pacitan Jawa Timur. Syekh terkenal sebagai ahli hadits, khususnya hadits Imam Bukhari. Dari Syekh Mahfudz inilah ia mendapat ijazah untuk mengajar hadits shahih Imam Bukhari.

Ia juga belajar dengan Al Alamah Sayid Alawi bin Ahmad al Saqqaf, Sayid Husseini al Habsy al Mufty, dan lain-lain. Di Mekkah ini Kiai Hasyim banyak bergaul dengan teman-temannya dari luar negeri seperti India, Pakistan, Birma dan Malaysia.

Setelah enam tahun belajar di Mekkah, pada 1899 Kiai Hasyim kembali ke tanah air. Ia kembali ke Jombang daerah kelahirannya. Sekarang ia ingin membangun pesantren sendiri. Tapi ia ingin pesantren itu dibangun dekat dengan orang-orang ahli maksiyat, pemabuk, penjudi, perampok, peminum dan lain-lain. Tentu saja keinginannya ini banyak yang menentangnya. Termasuk ayahnya. Sehingga ayahnya bertanya lebih lanjut kepadanya.

Kiai Hasyim yang saat itu berusia 28 tahun menjawab, ”Ayah, bukankah Islam itu agama yang rahmatan lil alamin? Agama yang mengajarkan kebaikan? Kalau kita mengajarkan agama kepada orang-orang yang sudah baik, lalu apanya yang perlu diperbaiki? Terus, siapa yang harus memperbaiki moral orang-orang yang masih banyak berlumpur dosa itu, kalau tidak ada yang peduli pada mereka?”

Akhirnya ayahnya mengerti dengan penjelasan anaknya. Ia mendukung sepenuhnya keinginan anaknya untuk mendirikan pesantren di daerah yang banyak kriminal itu, yaitu di Desa Tebuireng. Desa Tebuireng terletak di Kecamatan Diwek, Kabupaten Jombang, Jawa Timur. Desa itu terletak 10 km arah selatan Jombang.

Sekeliling desa itu banyak persawahan. Tapi ada juga warung remang-remang yang dijadikan penduduk untuk tempat pelacuran dan bermabuk-mabukan. Pemerintah Belanda sendiri juga sering mengadakan acara hiburan di sekitar desa itu yang biasanya diiringi joget dan minum-minuman keras.

Tentu hal itu menjadi tantangan tersendiri bagi Kiai Hasyim. Tetapi selama bulan-bulan pertama membangun pesantrennya dengan Sembilan santri, Kiai Hasyim melatih santri-santrinya untuk berkebun atau menanam sayur-sayuran. Karena ceramah Hasyim yang menyentuh masyarakat sekitar sehingga santrinya khirnya bertambah menjadi 50 orang. Sebagian adalah mantan pemabuk, penjudi dan lain-lain.

Hasil kebunnya pun meningkat. Sebagian hasil panennya dijual ke pasar untuk memenuhi kebutuhan pesantren, yaitu beras, lauk-pauk, minyak dan lain-lain. (BERSAMBUNG).

Nuim Hidayat, Anggota MIUMI dan MUI Depok

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button