PERADABANSIRAH NABAWIYAH

Kisah Heroik Perang Badar, Pertolongan Allah Hadir Saat Titik Nadir

“Dan sungguh Allah SWT telah menolong kalian di Perang Badar padahal dulu kalian dalam keadaan lemah” (QS. Ali-‘Imran : 123)

Tepat pada awal pertengahan bulan Ramadhan 1441 tahun yang lalu (tahun kedua Hijriah), 313 sahabat dipimpin oleh Rasulullah Saw mengarungi luasnya gurun pasir menuju lembah Badar yang berjarak empat hari perjalanan siang malam dari kota Madinah. Sebuah perjalanan yang tak terbayang sulitnya, dengan bermodalkan hanya 70 ekor unta yang dinaiki sebanyak 314 orang secara bergantian, para sahabat harus menahan perihnya terik matahari dalam perjalanan di tengah kelaparan puasa Ramadhan yang baru saja diwajibkan pada tahun itu. Perjalanan ini dimaksudkan untuk menyerang (ghazwu) kafilah dagang kafir Mekkah yang membawa segala macam harta benda perdagangan termasuk harta bendanya kaum Muslimin yang pernah dirampas ketika penindasan besar-besaran terjadi di kota Mekkah.

Masih segar dalam ingatan para sahabat, penindasan di kota Mekkah yang diikuti dengan ancaman pembunuhan terjadi pada tahun lalu dengan meninggalkan kepedihan dan luka yang mendalam di hati para sahabat. Betapa tidak, kota Mekkah tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan harus mereka tinggalkan dengan terpaksa tanpa bisa membawa harta benda yang berarti, handai taulan dan sanak saudara harus terpisah, para elit bangsawan yang dulunya menjadi wajah kehangatan kota Mekkah berubah bengis menyiksa sadis kaum Muslimin yang mempertahankan iman kepada Allah SWT. Dengan kondisi tragis seperti itu, Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin untuk hijrah ke Madinah demi menyelamatkan kelanjutan risalah dakwah.

Setibanya di Madinah, para sahabat harus menahan kondisi mental psikologis demi tegaknya agama Allah, ketiadaan tempat tinggal milik sendiri, sebagian terpisah dengan istri dan anak-anak yang mereka cintai, ladang dan kebun yang dirampas semena-mena hingga rumah dan harta benda yang mereka punyai habis dirampas tanpa tersisa oleh penduduk kafir Mekkah. Dahulunya mereka pernah menjadi bangsawan kini hanya menjadi rakyat jelata, dahulunya mereka terkenal sebagai orang terpandang dan kaya, kini hanya bermodalkan baju berdebu di badan.

Dahulunya mereka pemilik ternak dan ladang ladang luas, kini harus menumpang di rumah rumah penduduk kota Madinah. Sebuah kehidupan baru yang kontras dan bisa membuat tak waras bagi yang tidak punya mental dan iman yang kuat. Merupakan pengorbanan yang luar biasa tak terkira dari para Muhajirin dengan kondisi memprihatinkan mampu melakukan perjalanan selama hampir dua pekan dengan kondisi tanpa makanan dan air yang cukup untuk menuju kota Madinah demi menyelamatkan iman yang sudah terpatri di dalam dada-dada mereka.

Demi mempertahankan keyakinan dan kebebasan dalam menjalankan ibadah kepada Allah SWT, mereka rela berkorban nyawa, harta benda, rumah, ladang dan kebun, sanak saudara terpisah dan melakukan perjalanan yang tak terbayangkan sulitnya di tengah gurun pasir yang berat. Pengorbanan yang mereka lakukan merupakan pengorbanan yang hampir paripurna, tiada bandingannya dalam lintasan sejarah. Para sahabat Rasulullah Saw telah berada pada titik nadir perjuangan karena seluruh ikhtiar dan usaha mempertahankan iman sudah mereka laksanakan secara totalitas selama berada di kota Mekkah.

Betapa tidak, harta benda pribadi mereka habis dibelanjakan untuk perjuangan di jalan Allah SWT, puluhan sahabat mengalami penyiksaan sadis bertubi-tubi untuk sekadar mengatakan kata “Ahad” (Allah yang Maha Esa), malah seorang syahidah pertama, yaitu seorang ibu dari sahabat Amar bin Yasir, Sumayyah, terbunuh secara mengenaskan dengan tikaman tombak hingga kedalam kemaluan beliau. Pengorbanan yang dialami oleh Rasulullah Saw. dan para sahabat di periode awal Islam menyebar di Mekkah merupakan pengorbanan yang sulit ditandingi oleh siapapun hingga kini.

Keimanan kepada Allah SWT dan balasan yang Allah SWT janjikan di hari akhir telah menjadikan mereka rela berkorban hingga sedahsyat itu. Buah dari iman yang menghujam di dalam dada dapat merubah jarak yang jauh menjadi dekat, perut yang lapar terasa kenyang dan badan yang lemah terasa kuat. Para sahabat yang tadinya egois penyembah eksistensi diri dan cinta akan pangkat jabatan, kini mereka tenggelamkan demi tegaknya Islam dalam kehidupan yang hampir tak ada harapan di kota Mekkah. Ketika mereka menemukan nilai-nilai kebenaran yang dibawa oleh Rasulullah Saw, kebenaran itu mereka perjuangkan selayaknya harta benda yang paling berharga di muka bumi.

Beberapa kondisi mengenaskan mereka lalui, kelaparan akut di titik nadir kematian akibat boikot penduduk kafir Mekkah hingga pembunuhan yang merengut sahabat handai taulan yang mereka cintai telah mereka alami demi puncak cinta tertinggi mereka kepada nilai nilai kebenaran ajaran Islam. Mereka yang dahulu hina dina bagaikan hewan tersesat tanpa arah, tiba-tiba tercerahkan dengan kedatangan Islam yang diajarkan Rasulullah Saw, mereka yang dulu kering kerontang rohaninya terombang ambing dalam nestapa tanpa harapan, dengan Islam hatinya hidup kembali dan dari mukanya terpancar tekad baja untuk menempah harapan itu walau perihnya penderitaan terus mereka alami.

Dalam suasana emosional seperti inilah para sahabat menerima ajakan Rasulullah Saw untuk melakukan serangan terhadap kafilah dagang penduduk kafir Mekkah ke lembah Badar. Serangan ini seakan menjadi pelipur hati yang lara atas penderitaan bertubi-tubi yang telah mereka rasakan selama berada di kota Mekkah demi mempertahankan iman kepada Allah SWT.

Setidaknya para sahabat dapat mengambil kembali (reclaim) harta benda mereka yang pernah dirampas oleh penduduk kafir Mekkah sehingga dapat digunakan untuk mempermudah kehidupan baru mereka di kota Madinah. Tetapi ternyata Allah SWT berkehendak lain, Allah SWT ingin memberikan balasan yang lebih besar atas perjuangan dan pengorbanan berdarah-darah yang pernah Rasulullah Saw dan para sahabat lakukan.

Karena niat awal Rasulullah Saw hanya untuk menyerang kafilah dagang penduduk kafir Mekkah yang tidak dijaga secara ketat dan massif, para sahabat hanya bermodalkan alat keamanan sangat minim. Tercatat dalam sejarah, mereka hanya membawa delapan pedang, enam baju perang dan dua ekor kuda sebagai alat berjaga-jaga untuk keamanan seadanya. Jumlah persenjataan yang tidak mungkin melakukan peperangan besar dan tidak mungkin untuk mendapatkan kemenangan jika menggunakan logika akal sehat.

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button