Koalisi Besar Perubahan ‘Membahayakan’
Yang “buntut”nya selalu saja menimbulkan kerugian dikarenakan merusak iklim dan ketidakniscayaan investasi yang menganut fixed contract value selalu berubah; harus mengimpor pekerja dari para pekerja/buruh kasar hingga pekerja “kerah putihnya”; juga harus dibeli bahan-bahan baku materialisme-nya dari RRC-Tiongkok juga.
Bahkan, hebatnya sudah terlanjur tercium dan terlacak jikalau kabinet Jokowi itu secara terdeterminasi didominasi sikap dan sifat materialisme hedonisme dan feodalisme penguasa:
Tidak saja merupakan kombinasi antara kepentingan “vested interested” politik (dikuasai oleh oligarki partai politik), juga kepentingan “vested Interested” ekonomi (dikuasai oleh oligarki korporasi). Hingga, ada adagium perihal sebutan Kabinet ini, adalah Kabinet “Penguasa-Pengusaha”.
Dan PDIP sebagai biang dan atau lokomotif oligarki partai yang membuat Jokowi sebagai Presiden pun hanya sebagai petugas partai, menjadi “komandan” dari setiap komando pengambilan keputusan kebijakan pemerintahan.
Sedangkan, partai Golkarlah yang “cerdik” itu berpengalaman selama 32 tahun mengelola pemerintahan kemudian yang akan menentukan “solusi” praktisnya, bagaimana teknis, taktis dan mekanismenya.
Sekali lagi, itu terbukti fakta faktualnya, malah sangat gamblang dan viral di media sosial, ketika penjelasan Bambang Pacul di rapat Komisi III DPR RI ricuh menelisik di Kemenkeu masalah dana korupsi-money laundring sebesar Rp349 T, Menkopolhukam menanyakan tentang UU Perampasan Asset kok berjalan sangat loyo di DPR.
Bambang Pacul yang dari fraksi PDIP menjawabnya tidak bisa berbuat apa-apa, kecuali menunggu perintah komando dari para Ketum Parpol, sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Itulah, kenapa jelas sudah ada apa yang dinamakan, tali kekang kendali oligarki partai politik di lembaga legislasi itu: sudah mengacuhkan jauh kepentingan mewakili suara aspirasi rakyat lagi.
Dan benar saja, belum apa-apa dengan begitu “percaya diri” partai Golkar untuk bergabung ke Koalisi Perubahan itu bargaining position power-nya sudah meminta prasyarat: harus dari Golkar bacalon wakil Presiden. Padahal, itu sudah jelas dipahami oleh anggota partai Koalisi Perubahan sebagai the Founding Party, itu adalah hak prerogatif bacalon Presiden.
Padahal, yang sudah benar dari ketiga partai Koalisi Perubahan itu berkomitmen untuk melakukan bukan “Koalisi Besar Perubahan” yang hanya mengedepankan entitas besarnya jumlah hasil perolehan suara yang sesungguhnya tanpa Golkar pun Koalisi Perubahan itu akan memperolehnya, tetapi demi mewujudkan “Koalisi Perubahan Besar” yang berentitas kepada kepentingan perubahannya kelak dalam merestorasi setiap langkah, cara dan kinerja penyelenggaraan pemerintahan untuk kembali kepada konstitusi induknya, UUD 1945 dan Pancasila.
Beberapa contoh implementasi entitas program perubahan itu dari “Koalisi Perubahan Besar”, adalah maukah KIB menerima dalam komposisi pembentukan Kabinet Kementerian tanpa dan atau tiada lagi perwakilan partai-partai? Tetapi ke lebih menempatkan personal secara profesional sesuai keahlian profesi di dalam kabinet? Merestrukturisasi perubahan UU strategis (UU KPK, UU Omnibuslaw, UU BRIN, UU KUHP, dll), bahkan tidak menutup kemungkinan membatalkan UU IKN? Mengembalikan kewenangan kekuasaan POLRI di bawah Kementerian bukan Presiden? Membatasi kekuasaan skala ekonomi oligarki korporasi? Memulihkan demokrasi, mengubah pasal karet UU ITE yang menjamin kebebasan berpendapat, menegakkan kesetaraan, keadilan dan persatuan kesatuan? Dsb-nya masih akan banyak dilakukan perombakan dan perubahan besar itu.