Kontemplasi Hardiknas 2020 di Tengah Pandemi
Peringatan Hari Pendidikan Nasional 2020 berbeda dari tahun sebelumnya. Pandemi corona telah mengubah segala hal. Termasuk dalam sistem pendidikan.
Proses pembelajaran dipindahkan dari sekolah ke rumah. Sistem daring menjadi pilihan. Ketidaksiapan semua pelaku pendidikan menjadi PR tersendiri dalam penyelenggaran pendidikan masa pandemi.
Revolusi industri 4.0 telah meniscayakan manajemen sekolah dan pembelajaran berbasis IT. Mulai dari penggunaan dana BOS (Bantuan Operasional Sekolah) hingga pembayaran SPP dan uang saku.
Tak bisa dipungkiri, kehadiran sistem IT di dunia pendidikan telah banyak membantu. Pekerjaan lebih mudah dan efisien. Dengan smartphone, salah satu perangkat IT, pekerjaan bisa dilaksanakan kapan saja dan dimana saja.
Namun, pengadaan perangkat dan sistem IT tak semudah yang dibayangkan. Ada beberapa hal yang menjadi kendala. Pertama, minim keterampilan. Banyak tenaga pendidik, meskipun tidak semua, yang sudah ilfill duluan dengan teknologi. Di benak mereka, teknologi hanya menyulitkan, ribet. Takut salah pencet yang mengakibatkan hilang semua yang sudah lelah dan lama dikerjakan.
Kedua, bukan murah. Benar, segala perangkat IT tak ada yang murah. Untuk skala yang bisa dioperasikan oleh individu, seperti smartphone, harganya di atas satu juta rupiah. Itu baru alatnya saja. Belum lagi kuota internetnya. Lebih dari seratus ribu rupiah untuk mengelola pembelajaran online.
Ketika berbicara tentang peningkatan mutu tenaga pendidik, kita kembali menelan kekecewaan. Seperti biasa, yang diundang untuk pelatihan dan training justru guru itu lagi dan itu lagi. Karena sudah dikenal oleh diknas daerah, sehingga lebih mudah menghubunginya. Dengan sistem peleatihan yang you know lah, semestinya 4 hari 3 malam tetiba selesai dalam 3 hari. Lebih terkesan untuk menghabiskan anggaran dibandingkan peningkatan kompetensi guru.
Sistem training online untuk para guru mulai menjamur. Lagi-lagi yang mengikuti hanya guru-guru yang wellcome dengan teknologi. Sedangkan guru yang apriori tetap tak tersentuh. Beliau rela menggaji orang lain yang mau mengerjakan segala tugas dan administrasi yang berbau online.
Bagaimana dengan siswa? Gawai di tangannya lebih banyak porsi untuk game dan sosmed. Aplikasi unfaedah macam tiktok menjadi pilihan untuk eksistensi diri. Ketika ada guru yang melaksanakan pembelajaran online, kuota adalah alasan keberatan mereka. Padahal ketika main game, tak pernah keberatan sedikit pun.
Ketidakjujuran terkadang hadir pada pembelajaran online. Tugas yang dikerjakan oleh teman, dikirimnya kembali lewat akunnya dan diakuinya sebagai hasil pekerjaannya. Jika ulangan online, siswa terkadang membuka browsing sambil membuka soal dari guru. Situs Brainly menjadi kunci jawaban dari soal yang diberikan guru. Jika tidak, aplikasi chatting pun bisa membuat siswa saling bertukar jawaban.
Itu fakta di kota, yang akses internet lancar. Sedangkan di pelosok, jangankan internet, listrik pun mengalir sejak sore hingga subuh saja. Jelas takkan bisa melaksanakan pembelajaran online.
Dengan melihat berbagai permasalahan di atas, maka perlu ada revolusi sistem pendidikan. Selama ini, anggaran pendidikan hanya 20% dari APBN. Sebagian besar justru untuk membayar hutang negara.
Sektor pendidikan bukanlah prioritas utama di negeri ini. Untuk melihat hasil pendidikan memerlukan waktu puluhan tahun. Lebih cepat kelihatan hasilnya jika menjual SDA, aset negara atau membangun infrastruktur meskipun dengan berhutang.