OPINI

Korupsi Perbuatan Ifsad

Hari Jumat, 15 Maret 2019, yang lalu kita dikejutkan oleh kejadian operasi tangkap tangan (OTT) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap seorang ketua umum sebuah partai dengan beberapa orang yang diduga terlibat korupsi dengan melakukan jual beli jabatan pada sebuah kementerian.

Kejadian tersebut menambah panjang daftar pejabat publik yang terlibat kejahatan yang merusak (ifsad), yang tidak saja merugikan negara secara finansial dan material, tetapi lebih dahsyat lagi secara moral dan spiritual serta akhlak bangsa.

Terlebih, yang melakukan hal tersebut orang yang sedang mendapatkan amanah sebagai pimpinan partai berlabelkan Islam dan kementerian yang terlibat pun adalah Kementerian Agama. Dua institusi tersebut seharusnya menjadi institusi yang mencerminkan kekuatan akhlak dan moral yang menjadikan masyarakat percaya kepada mereka.

Kita khawatir jika masyarakat sudah tidak percaya lagi pada institusi keagamaan dan tokoh-tokoh agama, mereka akan makin menjauh dari agama, bahkan bisa jadi memusuhinya.

Pasalnya, menurut Adian Husaini (2019), Eropa sekarang berubah menjadi sekuler liberal dan kapok dengan agama setelah pemuka-pemuka agama dan juga institusi keagamaan kehilangan legitimasi moralnya karena mereka korup dan rusak akhlaknya.

Karena itu, dalam perspektif Alquran, perbuatan yang sangat tercela itu harus dihukum dengan seberat-beratnya dan dinyatakan sebagai perbuatan fasad dan isfsad, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Maidah (5) ayat 33. “Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik, atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar.”

Irfan Syauqi Beik dalam orasi ilmiahnya di hadapan sivitas akademika UIKA Bogor (2013) menyatakan bahwa korupsi memiliki dampak buruk terhadap berbagai hal, antara lain sebagai berikut.

Pertama, menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi. Menurut Chetwynd et al (2003), korupsi akan menghambat pertumbuhan investasi, baik investasi domestik maupun asing. Mereka mencontohkan fakta business failure di Bulgaria yang mencapai angka 25 persen.

Maksudnya, 1 dari 4 perusahaan di negara tersebut mengalami kegagalan dalam melakukan ekspansi bisnis dan investasi setiap tahunnya akibat korupsi penguasa.

Selanjutnya, terungkap pula dalam catatan Bank Dunia bahwa tidak kurang dari 5 persen PDB dunia setiap tahunnya hilang akibat korupsi. Sementara itu, Uni Afrika menyatakan bahwa benua tersebut kehilangan 25 persen PDB-nya setiap tahun juga akibat korupsi.

Yang juga tidak kalah menarik adalah riset yang dilakukan oleh Mauro (2002). Setelah melakukan studi terhadap 106 negara, ia menyimpulkan bahwa kenaikan 2 poin pada Indeks Persepsi Korupsi (IPK, skala 0-10) akan mendorong peningkatan investasi lebih dari 4 persen.

Sementara itu, Podobnik et al (2008) menyimpulkan bahwa pada setiap kenaikan 1 poin IPK, PDB per kapita akan mengalami pertumbuhan sebesar 1,7 persen setelah melakukan kajian empiris terhadap perekonomian dunia tahun 1999-2004.

Tidak hanya itu, Gupta et al (1998) pun menemukan fakta bahwa penurunan skor IPK sebesar 0,78 akan mengurangi pertumbuhan ekonomi yang dinikmati kelompok miskin sebesar 7,8 persen.

Hal tersebut menunjukkan bahwa korupsi memiliki dampak yang sangat signifikan dalam menghambat investasi dan pertumbuhan ekonomi (makin tinggi kenaikan Indeks Persepsi Korupsi maka makin rendah korupsinya, demikian pula sebaliknya).

Kedua, korupsi melemahkan kapasitas dan kemampuan pemerintah dalam menjalankan program pembangunan sehingga kualitas pelayanan pemerintah terhadap masyarakat mengalami penurunan. Layanan publik cenderung menjadi ajang pungli terhadap rakyat.

Akibatnya, rakyat merasakan bahwa segala urusan yang terkait dengan pemerintahan pasti berbiaya mahal. Sebaliknya, pada institusi pemerintahan yang memiliki angka korupsi rendah, layanan publik cenderung lebih baik dan lebih murah.

Terkait dengan hal tersebut, Gupta, Davoodi, dan Tiongson (2000) menyimpulkan bahwa tingginya angka korupsi ternyata akan memperburuk layanan kesehatan dan pendidikan. Konsekuensinya, angka putus sekolah dan kematian bayi mengalami peningkatan.

Peranan pemerintah menjadi lambat dan terhambat dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Masyarakat akan kehilangan harapan dan kepercayaan kepada pemerintah. Hal tersebut akan menyebabkan masyarakat apatis terhadap setiap program pembangunan yang dicanangkan pemerintah.

Ketiga, sebagai akibat dampak pertama dan kedua, korupsi akan menghambat upaya pengentasan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan. Yang terjadi justru sebaliknya, korupsi akan meningkatkan kemiskinan dan kesenjangan pendapatan.

Terkait dengan hal tersebut, riset Gupta et al (1998) menunjukkan bahwa peningkatan Indeks Persepsi Korupsi sebesar 2,52 poin akan meningkatkan koefisien Gini sebesar 5,4 poin. Artinya, kesenjangan antara kelompok kaya dan kelompok miskin akan makin melebar.

Hal tersebut disebabkan oleh makin bertambahnya aliran dana dari masyarakat umum kepada para elite atau dari kelompok miskin kepada kelompok kaya akibat korupsi.

Keempat, korupsi juga berdampak pada penurunan kualitas moral dan akhlak, baik individual maupun masyarakat secara keseluruhan. Selain meningkatkan ketamakan dan kerakusan terhadap penguasaan aset dan kekayaan, korupsi juga akan menyebabkan hilangnya sensitivitas dan kepedulian terhadap sesama.

Rasa saling percaya yang merupakan salah satu modal sosial yang utama akan hilang. Akibatnya, muncul fenomena distrust society, yaitu masyarakat kehilangan rasa percaya, baik antarsesama individu maupun terhadap institusi negara. Perasaan aman akan berganti dengan perasaan tidak aman (insecurity feeling).

Hal itulah yang dalam bahasa Alquran, QS an-Nahl: 112, dikatakan sebagai libaasul khauf wal juu’ (pakaian ketakutan dan kelaparan). Allah SWT berfirman, “Dan Allah telah membuat suatu perumpamaan (dengan) sebuah negeri yang dahulunya aman lagi tenteram, rezekinya datang kepadanya melimpah ruah dari segenap tempat, tetapi (penduduknya) mengingkari nikmat-nikmat Allah. Karena itu Allah merasakan kepada mereka pakaian kelaparan dan ketakutan disebabkan apa yang selalu mereka perbuat.” (QS an-Nahl [16]: 112).

Terkait dengan hal tersebut, Uslaner (2002) menemukan fakta bahwa negara dengan tingkat korupsi yang tinggi memiliki tingkat ketidakpercayaan dan kriminalitas yang tinggi pula. Ada korelasi yang kuat di antara ketiganya.

Karena itu, korupsi, kolusi, dan nepotisme dalam segala bentuknya yang buruk harus dijauhi oleh seluruh masyarakat, terutama para pemimpin yang mendapatkan amanah publik. Korupsi sejatinya masuk kategori pengkhianatan kepada Allah dan Rasul-Nya serta kepada amanah yang diembannya.

Perhatikan firman-Nya dalam QS al-Anfal (8) ayat 27-28. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui (27) Dan ketahuilah bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar (28).”

Wallahua’lam bisshawab

Prof. DR. KH. Didin Hafidhuddin, M.Sc.

Artikel Terkait

Back to top button