Lima Alasan Omnibus Law Ciptaker Harus Ditarik Kembali
Reaksi keras terhadap rancangan Omnibus Law Cipta Kerja yang digagas Pemerintah kian meluas.
Kini, bukan hanya kaum buruh saja yang memberikan penolakan. Para ahli dan aktivis lingkungan, komunitas adat, sejumlah aliansi jurnalis, dan sejumlah pihak lainnya turut mempersoalkan dan menolak RUU “sapujagat” tersebut. Mengingat sejumlah cacat yang menyertainya, saya setuju dengan usulan agar Pemerintah menarik kembali draf Omnibus Law agar diperbaiki, sebelum kemudian diajukan kembali dengan konsep yang lebih bersih dan masuk akal.
Draf Omnibus Law memang mengandung banyak sekali cacat serius. Apalagi dengan ditemukannya Pasal 170 yang menyatakan bahwa Peraturan Pemerintah (PP) bisa mengubah isi Undang-Undang. Pasal tersebut sangat jelas bertentangan dengan logika hukum dan perundang-undangan. Secara hirarkis, posisi PP adalah di bawah UU, sehingga seharusnya PP tunduk kepada UU, bukan justru mengubah ketentuan yang ada dalam UU.
Kita tak boleh menganggap keberadaan pasal tersebut hanya sebuah bentuk salah ketik, atau ketidaksengajaan, melainkan harus dilihat sebagai sebuah kesalahan fatal yang telah merusak kredibilitas draf Omnibus Law yang telah diajukan Pemerintah secara keseluruhan. Kesalahan fatal tersebut menunjukkan adanya proses yang cacat, atau tendensi bermasalah dari penyusunan draf tersebut, sehingga butuh ditarik kembali dan diperbaiki.
Di luar isu-isu substantif yang telah banyak dipersoalkan masyarakat, seperti tuduhan kaum buruh bahwa draf Omnibus Law telah melanggar prinsip ‘job security’, ‘salary security’, dan ‘social security’, atau protes sejumlah aliansi jurnalis—seperti Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), serta LBH Pers, yang menuduh pasal-pasal Omnibus Law hendak mengekang dan mengembalikan kontrol Pemerintah atas kebebasan pers, saya menilai draf Omnibus Law ini harus segera ditarik Pemerintah karena lima alasan mendasar.
Pertama, Omnibus Law potensial melanggar prinsip demokrasi mengenai trias politika, karena cenderung memperkuat kewenangan Presiden hingga ke tingkat yang luar biasa besar. Bahkan, dengan adanya Pasal 170 tadi, kekuasaan Presiden dalam proses penyusunan perundang-undangan jadi bersifat tunggal dan absolut, tak perlu lagi melibatkan parlemen. Padahal, menurut Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945, dengan jelas disebutkan bahwa pembentukan undang-undang merupakan kewenangan DPR, bukan Pemerintah. Artinya, menurut konstitusi, DPR adalah pemegang kekuasaan pembentuk perundang-undangan.
Kalau kita lihat komposisi Prolegnas Prioritas 2020, dari 50 RUU yang akan dibahas, secara kuantitatif porsi yang diusulkan oleh DPR berjumlah 35 (70%), oleh Pemerintah jumlahnya 9 (18%), oleh DPD jumlahnya 1 (2%), serta usul bersama oleh DPR dan Pemerintah berjumlah 5 (10%). Secara kuantitatif, RUU inisiatif DPR terlihat seolah bersifat mayoritas. Namun, jika kita lihat secara kualitatif, satu RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang diusulkan oleh Pemerintah akan mengubah sekitar 79 undang-undang yang sudah ada.
Jumlah undang-undang yang hendak diubah Omnibus Law ini terlalu banyak, sehingga menurut saya bersifat problematis dari sisi norma pembagian kekuasaan. Apalagi, ini bukan satu-satunya Omnibus Law yang diusulkan Pemerintah. Bayangkan, ada berapa banyak UU yang dikendalikan langsung oleh Presiden nantinya?
Kedua, ada ketidaksinkronan antara persoalan yang didiagnosis oleh Omnibus Law dengan resep yang disusunnya. RUU ini dirancang sebagai solusi terhadap masalah ekonomi, pengangguran, dan investasi, namun resep-resep yang disusunnya justru bersifat kontraproduktif, bahkan cenderung destruktif bagi perekonomian.
Di satu sisi RUU ini ingin menciptakan lapangan kerja, namun isinya justru melemahkan dan cenderung mengabaikan hak-hak kaum pekerja. Di sisi yang lain, meski bisa menciptakan kepastian hukum bagi investasi, namun isinya justru bisa menciptakan ketidakpastian stabilitas sosial-politik, mengingat luasnya penolakan atas RUU ini. Ujungnya, saya melihat hal ini hanya akan kian menjauhkan investasi dari Indonesia, seiring meningkatnya “political risk” di negeri kita.
Dari draf Omnibus Law Cipta Kerja yang ada, pendapatan kaum buruh nantinya jelas terancam berada di bawah upah minimum, sehingga akan membuat konsumsi rumah tangga di Indonesia semakin tertekan. Padahal, dalam struktur ekonomi Indonesia, konsumsi rumah tangga masih menjadi penyumbang terbesar pertumbuhan ekonomi, di mana bobotnya mencapai 56,6 persen.
Bagi investor, hal ini jelas akan menjadi catatan negatif yang signifikan atas beleid Omnibus Law. Pertama, potensi ketegangan di Indonesia potensial meningkat, akibat luasnya penolakan dan polemik. Kedua, tingkat konsumsi di Indonesia potensial kian tertekan di masa mendatang. Logikanya, apa guna mereka berinvestasi di Indonesia, jika ketidakpastian sosial politiknya meningkat dan daya beli konsumen menurun?
Inilah yang saya sebut sebagai triple kesalahan Pemerintah. Mereka telah salah baca situasi, salah diagnosis, dan salah menyusun resep sekaligus.