OPINI

Lima Alasan Omnibus Law Ciptaker Harus Ditarik Kembali

Ketiga, melalui RUU ini Pemerintah di atas kertas telah mengabaikan perlindungan terhadap rakyatnya sendiri, padahal tujuan didirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia. Dari sisi perburuhan, misalnya, Omnibus Law Cipta Kerja akan menghilangkan upah minimum, menghilangkan pesangon, menjebak kaum buruh dalam status outsourcing seumur hidup, melegalkan tenaga kerja asing tak terdidik masuk ke Indonesia, menghilangkan jaminan sosial bagi kaum buruh, serta memudahkan terjadinya PHK (Putus Hubungan Kerja). Hak-hak pekerja, yang saat ini masih dilindungi undang-undang, seperti Cuti Haid, Cuti Nikah, Cuti Melahirkan, atau Cuti Hari Keagamaan, dalam Omnibus Law juga tidak lagi dicantumkan dan diberi perlindungan.

Omnibus Law Cipta Kerja juga gagal memahami bahwa hakikat dari kerja adalah untuk memanusiakan manusia. Kalau sekadar cipta lapangan kerja, pada zaman “cultuurstelsel” alias Tanam Paksa dulu pemerintah kolonial Belanda juga bisa menciptakan lapangan kerja bagi kaum pribumi. Melalui proyek pembangunan infrastruktur Anyer-Panarukan, Daendels juga bisa menciptakan kerja paksa bagi kaum Bumiputera. Begitu juga dengan pemerintah kolonial Jepang, juga bisa menciptakan Kerja Romusha bagi rakyat kita.

Tapi apa cipta lapangan kerja semacam itu yang hendak kita repro di alam kemerdekaan sekarang ini?

Keempat, meski yang sering di-mention adalah soal investasi, pada kenyataannya persoalan yang hendak diatur dalam Omnibus Law bukanlah masalah-masalah utama yang selama ini menjadi penghambat investasi.

Pada 2019 lalu, World Economic Forum (WEF) merilis 16 faktor yang menjadi penghambat investasi di Indonesia. Dari 16 faktor tersebut, korupsi adalah masalah utama yang dianggap menggangu dan merugikan investor. Jadi, korupsi, termasuk di dalamnya suap, gratifikasi, favoritisme, serta uang pelicin, adalah penghambat utama investasi di Indonesia. Menurut kajian WEF, korupsi di Indonesia telah mengakibatkan persaingan tak sehat, distribusi ekonomi yang tak merata, serta ketidakpastian hukum.

Secara berturut-turut, 16 faktor penghambat investasi di Indonesia adalah (1) korupsi, (2) inefesiensi birokrasi, (3) akses ke pembiayaan, (4) infrastruktur tidak memadai, (5) kebijakan tidak stabil, (6) instabilitas pemerintah, (7) tarif pajak, (8) etos kerja buruh, (9) regulasi pajak, (10) inflasi, (11) pendidikan tenaga kerja rendah, (12) kejahatan dan pencurian, (13) peraturan tenaga kerja, (14) kebijakan kurs asing, (15) kapasitas investasi minim, dan (16) kesehatan masyarakat buruk.

Kita sama-sama bisa melihat regulasi ketenagakerjaan yang sudah ada posisinya sebenarnya tidak signifikan sebagai penghambat investasi. Korupsi dan birokrasi pemerintahanlah sesungguhnya menjadi persoalan utama.

Sehingga, pertanyaannya kemudian, kenapa yang diacak-acak oleh Omnibus Law untuk mendatangkan investasi ini justru regulasi ketenagakerjaan? Lebih jauh lagi, benarkah Omnibus Law ini disusun untuk kepentingan mendatangkan investasi, ataukah sekadar memfasilitasi kepentingan pengusaha yang saat ini jadi kroni Pemerintah?

Kelima, Pemerintah mematok target yang tak masuk akal bagi pembahasan RUU ini. Presiden, misalnya, melontarkan pernyataan agar RUU ini bisa selesai dibahas dalam seratus hari kerja. Menurut saya, target itu jelas bermasalah. Sebagai gambaran, RUU ini jumlah pasal beserta penjelasannya, tebalnya mencapai 1028 halaman. Naskah akademiknya saja mencapai 2276 halaman. Bagaimana bisa selesai dibahas dalam 100 hari kerja, sementara cacat akademis naskah itu begitu banyak? Lagi pula, kenapa harus selesai dibahas begitu cepat, jika persoalan yang diatur di dalamnya sebenarnya tak akan banyak manfaatnya bagi perbaikan ekonomi dan iklim investasi?

Saya melihat ada hal gelap yang melatarbelakangi RUU ini. Ketika pembahasan masih dilakukan di pemerintah, prosesnya saya perhatikan penuh dengan kerahasiaan. Orang-orang yang ikut membahas RUU Omnibus Law ini bahkan sampai diminta komitmen untuk tidak membocorkan isinya, termasuk kepada lembaga negara yang berhak sekalipun. Banyaknya rahasia yang ditutupi itu tentu saja menimbulkan pertanyaan, mengingat kita saat ini hidup di tengah iklim demokrasi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keterbukaan.

Dengan lima alasan mendasar itu, saya sebagai anggota DPR RI meminta kepada Pemerintah menarik kembali draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dan saya ingin mengingatkan kepada para kolega saya anggota parlemen agar berhati-hati betul terhadap naskah Omnibus Law ini. Terlalu banyak hal yang kita pertaruhkan kalau meloloskan RUU ini. Klaim manfaatnya bersifat utopis, sementara efek destruktifnya sangat jelas kelihatan di depan mata kita.

Para founding fathers dulu mendirikan negara ini untuk melindungi segenap tumpah darah Indonesia, bukan untuk mengecernya pada para investor atau menjadikannya arena bancakan para oligarki bangsa kita sendiri. Indonesia is not for Sale.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Alumni London School of Economics (LSE), Inggris

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button