OPINI

Lima Catatan untuk Perppu No 1 Tahun 2020

Hari ini, Selasa, 12 Mei 2020, DPR menggelar Rapat Paripurna. Salah satu agendanya adalah pengambilan keputusan mengenai apakah Perppu No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Negara Untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/Atau Stabilitas Keuangan bisa disahkan menjadi undang-undang ataukah akan ditolak.

Mulanya saya telah menyusun Minderheit Nota, namun saya melihat mayoritas Fraksi telah bersepakat untuk meloloskan Perppu No.1. Tak ada lagi yang dapat menghentikan langkah politik di DPR terkait Perppu kecuali judicial review di Mahkamah Konstitusi (MK) bisa mengoreksi atau membatalkan.

Dalam pandangan saya, Perppu No. 1 Tahun 2020 mengandung cacat bawaan yang berpotensi memunculkan krisis hukum dan kenegaraan. Secara politis, Perppu ini telah meletakkan parlemen hanya sekadar jadi embel-embel eksekutif, dan secara praksis Perppu ini rentan ditunggangi oleh kepentingan tertentu dengan dalih krisis.

Itu sebabnya, saya mengajak anggota parlemen yang lain untuk meninjau kembali secara kritis dan hati-hati Perppu ini.

Setidaknya ada 5 (lima) keberatan substantif terkait Perppu ini.

PERTAMA, Perppu ini telah melabrak fungsi dan kewenangan kostitusional DPR. Ada tiga fungsi DPR yang telah dilabrak Perppu No. 1 Tahun 2020, yaitu:

A. Fungsi Legislasi. Fungsi legislasi DPR sudah dikebiri karena Perppu No. 1 Tahun 2020 berpretensi menjadi omnibus law. Berbeda dengan Perppu-perppu lain yang lazimnya hanya mengubah satu undang-undang secara terbatas, Perppu No. 1 Tahun 2020 telah dan akan mengubah banyak sekali undang-undang. Pretensi untuk menjadi omnibus law ini saya kira harus disikapi secara kritis oleh DPR. Inilah pertama kalinya sebuah Perppu hendak mengubah norma lebih dari satu undang-undang sekaligus, yang telah membuat kekuasaan eksekutif dalam proses penyusunan perundang-undangan jadi demikian besar.

Setidaknya ada 8 undang-undang yang diubah dan diintervensi oleh Perppu sapu jagat ini, mulai dari UU MD3 yang mengatur kewenangan DPR, UU Keuangan Negara, UU Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Penjaminan Simpanan, UU Surat Utang Negara, UU Bank Indonesia, dan UU APBN 2020. Fungsi dan kewenangan konstitusional DPR sebagai pemegang kuasa membentuk undang-undang, sebagaimana ditegaskan Pasal 20 UUD 1945, telah dilangkahi dan bahkan diamputasi oleh Perppu ini. Ini akan jadi preseden hukum dan kenegaraan yang buruk.

B. Fungsi Anggaran. Perppu No. 1 Tahun 2020 telah memangkas peran DPR untuk merumuskan anggaran karena Perppu ini telah mengganti dasar APBN hanya cukup diatur berdasarkan Peraturan Presiden. Hal ini tertuang di dalam Pasal 12 Ayat (2) Perppu No. 1 Tahun 2020. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa untuk mengubah postur dan/atau rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara diatur berdasarkan Peraturan Presiden. Padahal, di dalam UUD 1945 Pasal 23 Ayat (1) dinyatakan bahwa kedudukan dan status APBN adalah Undang-Undang yang ditetapkan setiap tahun, bukan Perpres atau Peraturan Perundangan lainnya.

Selain itu, Pasal 23 Ayat (2) menyatakan bahwa rancangan undang-undang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama Dewan Perwakilan Rakyat dan harus mendapat persetujuan dari DPR. Jika APBN cukup hanya diatur berdasarkan Peraturan Presiden, maka otomatis tidak ada peran DPR di dalam proses perumusannya.

C. Fungsi Pengawasan. Perppu No. 1 Tahun 2020 telah telah melucuti hak pengawasan parlemen dan hak penyidikan serta penyelidikan lembaga penegak hukum. Di dalam Pasal 27, misalnya, disebutkan jika segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan Perppu tersebut tidak boleh dianggap sebagai kerugian negara. Pasal ini jelas telah mengebiri fungsi BPK (Badan Pemeriksa Keuangan).

Kita tidak boleh menjadikan kondisi luar biasa penanganan krisis akibat pandemi ini sebagai dalih untuk melabrak prinsip-prinsip demokrasi. Demokrasi yang sehat memerlukan kontrol parlemen dan lembaga penegak hukum. Tanpa keduanya, demokrasi yang telah kita perjuangkan selama ini akan kembali lagi kepada otoritarianisme.

KEDUA, ada potensi abuse of power dalam Perppu ini. Merujuk kepada Pasal 27, Perppu ini menyatakan para pejabat yang terlibat dalam proses pengambilan keputusan terkait dengan penanganan krisis tak bisa digugat, baik secara perdata, secara pidana, maupun melalui peradilan tata usaha negara. Pasal tersebut telah memberi hak imunitas kepada aparat pemerintah untuk tidak bisa dituntut atau dikoreksi melalui lembaga pengadilan manapun. Padahal, Indonesia adalah negara hukum, di mana penyelenggaraan pemerintahan mestinya bisa dikontrol oleh hukum.

Menurut saya, klausul ini sangat tak lazim, bahkan di tengah situasi krisis sekalipun. Klausul ini jelas bertentangan dengan Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Negara Indonesia adalah negara hukum, dan Pasal 27 ayat (1) bahwa segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.

Sebagai pembanding, Presiden sekalipun, menurut konstitusi, bisa dimakzulkan jika melakukan pelanggaran hukum. Artinya, Presiden saja bisa dituduh melanggar hukum. Sehingga, pemberian hak imunitas kepada para bawahan Presiden, sebagaimana yang diberikan oleh Perppu ini, sangat mengganggu akal sehat. Ini bentuk korupsi kewenangan yang tak boleh dibiarkan.

KETIGA, terkait kondisi keuangan negara yang tidak normal atau darurat, situasi tersebut sebenarnya sudah diantisipasi dan diatur dalam Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Pasal 27 Ayat (4) UU Keuangan Negara menyebutkan: dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam laporan realisasi anggaran. Dengan adanya klausul itu, menurut saya Perppu No. 1 Tahun 2020 tak memiliki urgensi sama sekali. Tanpa mengeluarkan Perppu sekalipun, Pemerintah sebenarnya sudah memiliki landasan hukum melakukan mitigasi anggaran di tengah krisis.

KEEMPAT, Pasal 2 Perppu No. 1 Tahun 2020 menyatakan bahwa defisit anggaran akan diperlonggar hingga lebih dari 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto (PDB) selama masa penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan/atau untuk menghadapi ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan/atau stabilitas sistem keuangan paling lama sampai dengan berakhirnya Tahun Anggaran 2022. Ini klausul yang membahayakan perekonomian nasional. Dengan tidak adanya batas defisit APBN terhadap PDB, maka risiko terjadinya pembengkakan utang negara jadi kian membesar. Dalam situasi krisis sekalipun, saya berpendapat semestinya batas defisit APBN terhadap PDB tetap diperlukan agar berbagai risiko yang bisa mengancam perekonomian nasional dapat tetap terukur dan terkendali.

KELIMA, Perppu No. 1 Tahun 2020 ini tidak sesuai dengan saran pimpinan Badan Anggaran DPR RI yang disampaikan pada Maret 2020 lalu. Untuk mengatasi krisis, Pemerintah sebenarnya bisa menerbitkan 3 Perppu untuk mengatasi dampak krisis. Ketiga Perppu itu adalah: (1) Perppu APBN 2020 (untuk melakukan realokasi anggaran tanpa harus menunggu APBN-P); (2) Perppu terhadap Undang Undang Pajak Penghasilan (untuk memberi keringanan pajak, tapi sekaligus juga menarik pajak lebih besar bagi orang-orang terkaya), dan (3) Perppu revisi UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara (untuk melonggarkan batas defisit anggaran).

Artinya, DPR sangat menyadari jika dalam menghadapi keadaan genting yang memaksa, Pemerintah memang diberi kewenangan untuk menerbitkan Perppu. Namun, sebagaimana pengalaman di masa lalu, diperlukan lebih dari satu Perppu untuk tiap persoalan yang hendak diatasi, dan bukannya satu Perppu yang digunakan untuk mengubah norma di sejumlah undang-undang.

Sebagai pembanding, untuk mengatasi krisis global tahun 2008, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono juga menerbitkan 3 Perppu sekaligus, yaitu (1) Perppu No. 2/2008 tentang Perubahan UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia, (2) Perppu No. 3/2008 tentang Perubahan UU No. 24/2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan, dan (3) Perppu No. 4/2008 Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK). Dari ketiganya, hanya dua Perppu pertama yang diterima DPR, sementara Perppu JPSK ditolak parlemen.

Perlu dicatat, salah satu alasan penolakan DPR terhadap Perppu JPSK kala itu adalah adanya klausul pemberian imunitas kepada KSSK.

Sebagai pejabat negara, saya mendukung upaya pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mempercepat penanganan dampak pandemi Covid-19 melalui langkah-langkah yang prudent. Namun, dengan pertimbangan-pertimbangan di atas, saya melihat Perppu No. 1 Tahun 2020 justru memberi banyak celah moral hazard dalam implementasinya. Sehingga, untuk menghindari berbagai masalah keuangan, hukum, dan bahkan politik di kemudian hari, saya melihat saat ini pemerintah lebih baik mengambil langkah untuk mengganti Perppu No. 1 Tahun 2020 ketimbang menjadikan Perppu ini sebagai undang-undang. Apalagi, undang-undang yang sudah ada, yaitu UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, sebenarnya telah memberikan pijakan yang cukup untuk mengatasi krisis ekonomi.

Demikian catatan saya mengenai Perppu No. 1 Tahun 2020. Semoga, dengan proses pengambilan keputusan yang benar, cara kita menanggulangi krisis hari ini tak akan menjadi krisis di masa mendatang.

Dr. Fadli Zon, M.Sc.
Anggota DPR RI, Wakil Ketua Umum DPP Partai Gerindra

Artikel Terkait

Back to top button