RESONANSI

Madzhab al-Ghazali?

Madzhab al-Ghazali

Tentang madzhab, baik fiqh atau aqidah, untuk mengambil kesimpulan langsung dari al-Qur’an dan Sunnah itu bukan perkara mudah. Syaratnya banyak dan ketat, baik syarat intelektual maupun syarat moral. Ini penting dipahami, agar tidak semua orang gegabah mendakwa ijtihad. Orang yang berilmu pun tidak otomatis bisa berijtihad langsung dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, apalagi orang awam.

Imam al-Ghazali adalah ulama yang sangat beradab. Dengan ketinggian ilmunya, al-Ghazali tetap tahu diri. Meski diakui sebagai seorang mujtahid, namun al-Ghazali tetap mengakui otoritas keilmuan yang lebih tinggi. Ijtihad dan mujtahid itu tidak sama levelnya. Dalam disiplin ilmu fiqh misalnya, ada mujtahid mutlak/mustaqill, ada mujtahid muntasib, mujtahid muqayyad, mujtahid tarjih, mujtahid fatwa dan sebagainya.

Imam yang empat seperti Imam Hanafi, Imam Maliki, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad adalah mujtahid mutlak/mustaqill. Keempat ulama ini adalah ulama yang telah mencapai level mampu menggali hukum langsung dari al-Qur’an dan Sunnah dengan menggunakan teori ushul yang mereka rumuskan sendiri. Tidak semua ulama mampu mencapai derajat ini. Bahkan murid langsung keempat imam madzhab ini pun tidak otomatis menjadi mujtahid seperti mereka. Abu Yusuf, Muhammad ibn Hasan, al-Buwaithi, al-Muzani, adalah mujtahid. Namun level ijtihad mereka masih di bawah level ijtihad keempat imam madzhab itu.

Begitu juga dengan al-Ghazali yang ijtihadnya masih merujuk kepada ushul yang dirumuskan Imam Syafi’i dalam bidang fiqih, dan kepada Imam Asy’ari dalam bidang aqidah. Adapun adanya perbedaan furu’ dalam bidang fiqih maupun aqidah diantara al-Ghazali dengan pendiri madzhabnya, itu adalah hal yang biasa terjadi dalam bermadzhab. Pembahasan ini bisa dikaji dalam bidang ushul fiqih dan ushuludin secara lebih jauh. Silakan mengaji lagi kedua disiplin ilmu yang penting itu kepada para guru yang ahli.

Selanjutnya, mengapa al-Ghazali mengikuti madzhab fiqih Syafi’i dan aqidah Asy’ari? Belakangan, pertanyaan semacam ini muncul di tengah masyarakat. Bukan khusus untuk al-Ghazali, tapi ditujukan kepada umat Islam secara luas. Bahkan pertanyaan ini kadang diikuti pertanyaan berikutnya. Apakah aqidah Imam Syafi’i dan Imam Asy’ari itu sama atau beda? Kalau sama, mengapa tidak mengikuti aqidah Syafi’i juga? Kalau beda, aqidah siapa yang benar? Aqidah Imam Syafi’i atau aqidah Imam Asy’ari? Akhirnya, berbagai pertanyaan ini ditutup dengan pernyataan, “Kalau aqidah Imam Syafi’i benar, maka ikuti itu saja, tidak perlu mengikuti madzhab Asy’ari”. Begitu kira-kira gambarannya.

Saya tidak tahu apa motif di balik deretan pertanyaan ini. Apakah si penanya itu tidak pernah mendengar tentang madzhab Asy’ari? Atau dia tidak memahami ajaran aqidah madzhab Asy’ari? Atau memang dia alergi terhadap madzhab aqidah Asy’ari? Lalu, apakah benar dia kemudian mengaji aqidah madzhab Imam Syafi’i? Kalau benar, kitab apa diantara karya Imam Syafi’i yang jadi rujukannya? Atau jangan-jangan dia hanya berkata mengikuti aqidah Imam Syafi’i, padahal yang dipelajari dan diajarkan justru kitab dari ulama lain? Bukan kitab imam Syafi’i juga bukan kitab ulama salaf yang lain.

Sebenarnya, jika mau jujur, pertanyaan ini bisa ditujukan ke ulama madzhab lain dan disiplin ilmu yang lain. Misalnya, mengapa ada ulama bermadzhab fiqih Maliki tapi bermadzhab aqidah Asy’ari juga? Atau ulama bermadzhab fiqih Hanafi tapi bermadzhab aqidah Maturidi? Mengapa juga dalam bidang qira’at tidak mengikuti madzhab Syafi’i sekalian? Atau bidang Hadits dan sebagainya? Apakah qira’at Imam Syafi’i salah? Apakah Hadits riwayat Imam Syafi’i lemah atau palsu? Coba bayangkan apa akibatnya jika pertanyaan semacam ini dilanjutkan? Sepertinya, pertanyaan semacam ini malah menimbulkan kekacauan berpikir.

Penting untuk dipahami, bahwa aqidah Imam Asy’ari itu sama dengan aqidah Imam Syafi’i, bahkan dengan aqidah generasi Salaf dari sahabat Rasulullah Saw. Menurut Imam Tajuddin al-Subki, Imam al-Asy’ari sebenarnya bukan membuat pandangan baru atau madzhab baru. Beliau itu menegaskan kembali keyakinan madzhab Salaf dan mempertahankan aqidah sahabat Rasulullah Saw. Oleh karena itu, menurut Ibn Asakir dan al-Subki, madzhab aqidah yang yang dirumuskan kembali oleh Imam Asy’ari ini diterima luas oleh kalangan fuqoha dari madzhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan tokoh ulama Hambali. Bahkan menurut Imam al-Baihaqi, madzhab aqidah Asy’ari ini mendukung pandangan ulama terdahulu seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, Imam Ahmad, dan Imam-imam ahli Hadits seperti Imam Bukhari dan Muslim. Oleh karena itu, banyak ulama lintas madzhab fiqih ini mengikuti madzhab Asy’ari dalam aqidah. Sebagian lagi mengikuti madzhab Maturidi.

Diantara ulama fiqih Syafi’i yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari adalah, Imam al-Daruqutni, Imam al-Baihaqi, al-Hafizh al-Khatib al-Baghdadi, Imam al-Nawawi, al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalani dan lain-lain. Diantara ulama madzhab Maliki yang mengikuti madzhab aqidah Asy’ari ada Imam al-Hafizh al-Qadhi Abu Bakr Ibn al-Arabi, al-Qadhi Abu Bakr al-Baqillani, al-Qadhi ‘Iyadh al- Andalusi. Dari madzhab Hambali yang mengikuti aqidah Asy’ari ada al-Hafizh Ibn al-Jauzi. Sedangkan dari madzhab Hanafi, kebanyakan bermadzhab aqidah Maturidi.

Laman sebelumnya 1 2 3 4Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button