Madzhab al-Ghazali?
Jadi, tentang mengikuti madzhab fiqih yang berbeda dengan madzhab aqidah itu bukan hal aneh. Dengan demikian, tidak aneh jika al-Ghazali bermadzhab fiqih Syafi’i dan bermadzhab aqidah Asy’ari. Justru yang aneh itu mempertanyakannya di hari ini. Padahal para ulama sejak dulu sudah memahami dan mengamalkannya. Ini karena memang dalam beragama itu kita harus merujuk kepada otoritas ilmu. Ini bukan berarti imam Syafi’i tidak memiliki otoritas ilmu aqidah, tapi kebanyakan karya beliau memang di bidang fiqih dan ushul fiqh. Maka beliau lebih dikenal sebagai Imam dalam bidang fiqih dan ushulnya. Begitu juga Imam Asy’ari bukan berarti tidak memiliki ilmu di bidang fiqih, hanya karya beliau banyak membahas masalah aqidah. Akhirnya jadilah dirinya rujukan utama di bidang aqidah.
Madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah
Lalu, apakah wajib mengikuti madzhab Asy’ari? Tentu saja tidak wajib. Ada madzhab lain yang juga termasuk Ahlussunnah wal Jama’ah. Menurut Imam al-Safarini al-Hanbali, dalam kitabnya Lawami’ al-Anwar al-Bahiyyah, (1/73) Ahlussunnah itu ada tiga golongan. Atsariyyah dengan pemimpinnya adalah Imam Ahmad ibn Hanbal. Asy’ariyyah yang dipimpin oleh Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari dan Maturidiyyah yang dipimpin oleh Imam Abu Manshur al-Maturidi.
Ketiga madzhab ini mewakili madzhab Ahlussunnah dalam bidang aqidah. Madzhab yang menjaga aqidah umat dari berbagai penyimpangan dan bid’ah pemikiran. Madzhab yang menjawab segala syubhat yang dilemparkan, khususnya terkait masalah ketuhanan, agar umat selamat dari pemahaman tasybih, tajsim, ta’thil dan berbagai kekeliruan lainnya. Hanya saja, pengikut madzhab Atsariyyah kemudian banyak yang bergabung ke madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah. Jadi, madzhab Asy’ariyyah dan Maturidiyyah yang kini lebih dikenal mewakili madzhab aqidah Ahlussunnah wal Jama’ah.
Dengan demikian, tidak salah dan bukan masalah jika sejak dulu sampai hari ini ada ulama yang bermadzhab fiqih Syafi’i atau Maliki tapi bermadzhab aqidah Asy’ari. Ada juga yang bermadzhab fiqih Hanafi tapi bermadzhab aqidah Maturidi. Ini karena mengikuti sosok otoritatif dalam madzhab itu merupakan tradisi ilmu para ulama sejak beradab-abad yang lalu. Justru yang aneh itu jika mengaji dan mengajar fiqih madzhab Syafi’i tapi bukan untuk diamalkan. Malah seringnya mengkritisi dan berkomentar miring tentang madzhab Syafi’i. Muncul pandangan yang memberi kesan seakan-akan fiqih Syafi’i tidak sesuai dalil yang shahih atau dalilnya lemah, lalu akhirnya ditinggalkan.
Ada juga pandangan yang mencela orang yang mengikuti madzhab Syafi’i. Menurutnya, kita tidak wajib mengikuti madzhab, tapi wajib mengikuti dalil, yaitu al-Qur’an dan Sunnah. Ada juga yang tampak ingin menggiring opini umat agar mengikuti madzhab Syafi’i dalam semua bidang keilmuan. Termasuk dalam masalah aqidah. Ini secara tidak langsung mengajak orang meninggalkan madzhab aqidah Asy’ari sebagai bagian dari madzhab Ahlussunnah wal Jama’ah. Lebih konyol lagi jika ada yang berpendapat bahwa madzhab aqidah Asy’ariyyah itu sesat dan bukan Ahlussunnah wal Jama’ah. Padahal, dalam Majmu’ Fatawa, (4/16) Ibn Taimiyyah menyatakan:
“Siapa yang melaknat ulama Asy’ariyyah, maka dia dita’zir. Dan laknatan dia (atas ulama Asy’ariyyah) kembali kepada dirinya sendiri. Siapa yang melaknat orang yang tidak layak dilaknat, maka ia akan terkena laknatnya sendiri. para ulama itu penjaga perkara-perkara furu’ (cabang) dalam agama. Para ulama Asy’ariyyah itu penjaga perkara-perkara ushul (pokok) dalam agama.”
Lagipula, jika madzhab aqidah Asy’ari itu dianggap sesat, maka para ulama pengikutnya juga otomatis sesat. Kalau mereka sesat, lalu siapakah ulama yang lurus dan selamat? Apakah kita tega memvonis ulama shaleh itu sebagai orang-orang sesat?
Kembali kepada Imam al-Ghazali. Dari sosok Hujjatul Islam ini kita bisa belajar adab. Dengan ketinggian ilmu yang ada padanya, al-Ghazali tetap bersikap rendah hati. Dia mengakui otoritas ulama pendahulunya yang lebih layak untuk diikuti. Tidak mendabik dada dengan sombongnya sambil berkata “Saya berlepas diri dari madzhab Syafi’i dan Asy’ari. Sekarang saya deklarasikan madzhab sendiri, Madzhab al-Ghazali.” Tidak sama sekali. Padahal, mungkin banyak orang memandang al-Ghazali layak membangun madzhab sendiri. Namun Sang Hujjatul Islam ini sangat tahu diri untuk tetap masuk ke dalam barisan para ulama yang ahli.
Dalam bidang fiqih, al-Ghazali adalah ulama Syafi’i. Dalam bidang aqidah al-Ghazali adalah ulama Asy’ari. Meski demikian, al-Ghazali tetaplah seorang ulama yang memiliki pandangan ilmiah dan sikap yang beradab. Sang Hujjatul Islam ini bukanlah seorang yang bertaqlid buta kepada imam Syafi’i dan imam Asy’ari. Dalam beberapa perkara furu’ fiqih bisa jadi ada perbedaan pandangan antara al-Ghazali dengan imam Syafi’i. Dengan istilah lain, Imam al-Ghazali itu bermadzhab secara ikhtiyari bukan idhthirari. Maksudnya, al-Ghazali menjadi ulama Syafi’i karena ada kesamaan dalam ijtihadnya. Begitu juga dalam masalah furu’ aqidah sangat wajar jika al-Ghazali berbeda pandangan dengan imam Asy’ari. Dalam ranah ilmiah, perbedaan furu’ semacam ini ini bukanlah hal tabu dan tercela, tapi menunjukkan keluasan ilmu para ulama itu.