MUHASABAH

Mas Menteri, Banyak Anak Tidak Dapat Belajar Daring, Dana POP Kok Buat Cukong?

Dzul Faqor Risqi Islamy Al Ghaz (13) atau yang biasa disapa Dzul. Salah satu siswa SMP di Pekalongan, Jateng ini terus merengek kepada gurunya. Dzul meminta diizinkan belajar di sekolah, gegara tidak dapat mengikuti belajar daring karena tidak punya smartphone.

Semangat Dzul patut dicontoh. Tidak memiliki smartphone untuk belajar daring, tidak membuatnya putus asa. Dia berusaha mencari jalan keluar untuk tetap dapat belajar. Dia kayuh sepedanya menuju sekolahnya di SMPN 2 Tirto, Kabupaten Pekalongan.

Dzul memasuki sekolahnya yang sepi dengan ragu-ragu. Tekadnya yang kuat membuat gurunya terharu. Dzul pun diizinkan belajar di sekolah dengan wali kelasnya di ruang perpustakaan. Tidak ada yang menyuruh Dzul datang ke sekolah. Hanya sebab dorongan dari dirinya sendiri. Semua itu demi cita-citanya menjadi astronot. (detik.com, 29/7/2020).

Mas Menteri Nadiem, Dzul tidak sendiri, di luar sana masih banyak anak yang senasib dengan Dzul. Tidak hanya orang tua yang bingung, anak pun tidak kalah bingung. Masa wabah, hp dan kuota bukan barang murah. Apalah artinya membeli hp dan kuota jika perut tidak terisi kenyang.

Sebelum wabah, mengecap pendidikan sudah susah. Saat wabah, pendidikan tidak kalah susah. Bukan hanya terganjal fasilitas yang tidak ada. Guru dan orang tua pun auto gagap mendampingi anak belajar daring. Sebab belajar daring di masa pandemik menjadi pengalaman pertama yang tidak diprediksi.

Mas Menteri Nadiem, di tengah kesulitan rakyat mengakses pendidikan selama pandemik. Rakyat tampak berjuang sendiri, minim dukungan dan peran negara dalam mengurai kesulitan ini. Tidak heran jika belajar dari rumah (BDR) secara daring, menambah daftar panjang sengkarut sistem pendidikan kita.

Sedihnya, saat pendidikan bertambah sengkarut selama pandemik. Hati rakyat kembali dibuat perih. Terdengar kabar berita, Mas Menteri Nadiem berniat menggelontorkan dana hibah Kemendikbud dalam Program Organisasi Penggerak (POP) pada Sampoerna Foundation dan Tanoto Foundation.

Walau Mas Menteri sudah meminta maaf dan kemudian merivisi pernyataannya, dengan mengatakan kedua organisasi kemasyarakatan itu tetap bergabung dalam POP menggunakan dana mandiri. Namun, publik sudah terlanjur kecewa. Mundurnya tiga mitra strategis dan berjasa besar di dunia pendidikan yakni Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dalam program tersebut, jelas mewakili kekecewaan rakyat banyak. (ayobandung.com, 28/7/2020).

Mas Menteri Nadiem, dana POP Rp567 miliar tidaklah sedikit. Alih-alih dana POP untuk lahan bisnis para cukong kapitalis. Tentu akan sangat bijaksana dan sangat bermanfaat, jika dana tersebut dialihkan untuk membantu anak seperti Dzul dalam menunjang belajar daring. Tentu akan ada banyak anak seperti Dzul yang terbantu.

Mas Menteri Nadiem, dana POP pun dapat dialihkan untuk guru honorer dan sekolah-sekolah pinggiran yang minim fasilitas. Di pelosok Nusantara tidak sedikit dijumpai sekolah-sekolah yang rusak, guru honorer yang dihimpit kesulitan ekonomi dan anak-anak yang kesulitan mengakses jalan ke sekolah. Tentunya semua itu lebih bermanfaat dan tepat sasaran, daripada untuk menggemukan kantong-kantong para cukong.

Pendidikan semestinya dikelola demi kepentingan rakyat. Bukan untuk kepentingan bisnis ala kapitalis. Ambyar pendidikan jika dikelola berdasarkan untung-rugi. Ujung-ujungnya rakyat yang terus-terusan dibuat tekor dan rugi. Kalau terus-terus seperti ini bagaimana nasib generasi bangsa besar ini?

Mas Menteri Nadiem, jika tidak sanggup lagi mengurus pendidikan kita. Sebab problematika pendidikan yang tak kunjung usai. Maka, kembalikanlah sistem pendidikan kita kepada Islam. Hanya Islam satu-satunya sistem yang cemerlang dan mumpuni, yang menjadi solusi solutif bagi carut marutnya pendidikan generasi hari ini.

Paradigma Islam memandang pendidikan sebagai aspek vital yang wajib dipenuhi negara. Negara wajib menyelenggarakan pendidikan secara berkualitas dan murah bahkan gratis. Negara wajib memberikan kemudahan bagi rakyat mengakses pendidikan, termasuk saat wabah.

Dana operasional pendidikan diperoleh dari Baitul Mal dan mutlak bagi negara membiayanya. Baik ada maupun tidak ada uang di baitul mal. Oleh sebab itu, negara wajib memaksimalkan potensi sumber-sumber pemasukan negara, seperti kepemilikan umum, jizyah, kharaj, dll. Jika sumber-sumber pemasukan negara tidak mencukupi, negara boleh melakukan konsep antisipasi lewat pajak. Yang mana hanya orang kaya saja yang dipungut pajak.

Diterapkannya sistem pendidikan Islam juga sebagai benteng dari berbagai intervensi dan kerjasama dengan pihak swasta/asing yang merugikan penyelenggaraan pendidikan generasi. Negara secara tegas akan menolak segala bentuk intervensi dan kerjasama yang berorientasi bisnis demi kepentingan segelintir orang. Sebab pendidikan ditujukan untuk melahirkan pemimpin masa depan, bukan untuk melahirkan para penjilat dan pengkhianat rakyat.

Jadi Mas Menteri, sudah saatnya mencampakkan sistem pendidikan sekuler ala kapitalisme yang menjadi sumber masalah. Sebab alih-alih menghasilkan generasi terbaik dan menyelesaikan masalah pendidikan, yang kian hari kian menggunung. Malah sebaliknya, sistem pendidikan berorientasi materi ini terus saja menambah sengkarut persoalan dan membuat frustasi. Betul tidak, Mas Menteri?

Jannatu Naflah
Praktisi Pendidikan

Artikel Terkait

Back to top button