Media itu Anjing Penjaga, Bukan Pujangga Istana
Dalam negara demokrasi, kekuasaan itu harus dikontrol. Tanpa kontrol, kekuasaan yang besar akan cenderung menjadi korup. Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely (Lord Acton). Media adalah salah satu elemen utama yang harus menjalankan peran itu.
Maka kemudian muncullah terminologi, media sebagai watchdog, demokrasi. Saking pentingnya media dalam negara negara demokrasi sampai disebut sebagai the fourth estate, pilar keempat demokrasi, di luar eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Sebagai pilar dia harus tegak dan kuat. Berdiri sama tinggi dengan cabang-cabang kekuasaan lain, terutama eksekutif. Peran ini sangat terasa pada awal kemerdekaan RI, sampai pada masa awal Orde Baru. Tirto Adisuryo, Djamaluddin Adinegoro, dan Mochtar Lubis adalah beberapa nama dari sederet tokoh yang bisa disebut sebagai ikon media pergerakan seperti di Indonesia.
Pers Industri
Mengapa media di Indonesia seakan kehilangan elan vitalnya sebagai pengawal utama demokrasi? Era industri melumpuhkan semuanya.
Secara garis besar ada dua jenis media. Pertama, media yang dibangun oleh para wartawan dan berubah menjadi konglomerasi.
Masuk dalam kelompok ini adalah Kompas, Jawa Pos, Suara Merdeka, dan Pikiran Rakyat. Kompas bahkan sudah tumbuh menjadi bisnis raksasa. Memiliki percetakan dan toko buku, perhotelan, rumah sakit, radio, televisi, sampai lembaga pendidikan.
Kedua, para pebisnis yang merambah konglomerasi media. Yang masuk dalam kelompok ini adalah Emtek (Indosiar, SCTV). Trans Corp (Trans TV, Trans 7, CNN, CNBC, detik.com, CNN.com). Bakrie (Antv, Tv One), MNNC (RCTI, Inews, MNC, Radio Trijaya, Koran Sindo, okezone.com). Media Group (Metro TV, Media Indonesia). Mahaka Media (Jak TV, Republika, jaringan sejumlah radio).