Media itu Anjing Penjaga, Bukan Pujangga Istana
Kedua jenis kelompok media itu, baik yang didirikan oleh mereka yang berlatar belakang media, maupun konglomerasi, sangat sulit untuk menerapkan pemisahan yang tegas antara bisnis dan independensi redaksi (firewall theory).
Sisi idealisme, terutama di kalangan wartawan, harus tunduk oleh kepentingan bisnis dan politik para pemilik media.
Sisi ini yang dengan jeli dimanfaatkan oleh penguasa. Mereka dengan mudah ditaklukkan melalui pendekatan dan tekanan politik, hukum, maupun bisnis. Posisi tawar wartawan sangat lemah di era pers industri. Belum lagi faktor banyak wartawan masuk ke media tak lebih karena tuntutan ketersediaan lapangan kerja. Era wartawan aktivis, nampaknya sudah berlalu.
Kompromi kelompok media yang membesar menjadi bisnis bukan hal baru dalam politik Idonesia. Wartawan senior Jus Soema di Pradja bercerita bagaimana dia kemudian memutuskan untuk mengundurkan diri dari harian Kompas.
Pada 26 Januari 1976 sejumlah pemimpin media yang dibreidel, termasuk Pemimpin Redaksi Kompas Jacob Oetama menandatangani perjanjian dan menulis surat kepada penguasa Orde Baru Soeharto. Pada garis besarnya dalam surat tersebut, mereka akan mentaati semua garis kebijakan Orde Baru. Singkat kata tak akan lagi bersikap kritis.
Jus sempat mendatangi kediaman Jacob di kawasan Pejompongan, Jakarta. Dia mempertanyakan sikap Jacob yang dianggap mengkhianati independensi dan sikap kritis terhadap penguasa. “Bung mau dikemanakan 2.500 orang karyawan kita,” tanya Jacob.
Saat itu Kompas sudah punya 32 unit usaha. Majalah Bobo, Intisari, Midi, penerbitan buku Gramedia, sampai Unit Gramedia Film. Hanya beberapa hari setelah itu, Jus mengundurkan diri karena menganggap tugas media sudah selesai.