Melatih Kemampuan Pengendalian Diri
Kemampuan untuk mengendalikan diri (self control) sering kali terlewatkan. Banyak orang merasa dirinya sudah kuat, dirinya sudah mampu, dirinya sudah terkontrol, karena ketika itu mereka sedang sadar. Tapi ketika orang tidak mampu mengendalikan diri dia berarti sedang tidak sadar, sehingga kemudian nanti sudah mengendalikan diri, dia baru sadar kalau dirinya ternyata juga masih bisa kehilangan kendali diri. Maka dari itu kita harus terus menerus mengingatkan diri sendiri, agar bisa mengendalikan diri dan itu diperlukan latihan.
Kita menginginkan bisa shalat khusyuk terus menerus, tapi seringkali persentase kekhusyukannya tidak besar, kadang hanya 10% khusyuknya, kadang 20%. Hal tersebut berarti, yang kita inginkan tidak bisa kita arahkan secara konsisten terhadap anggota tubuh kita seluruhnya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al Mukminun: 1-3, “Beruntunglah orang-orang yang beriman yaitu orang yang khusyuk dalam shalatnya dan yang menjauhkan diri dari perbuatan dan perkataan yang tiada berguna”. Kemudian dalam Al-Qur’an juga disebutkan bahwa shalat dapat mencegah atau mengurangi perilaku keji dan mungkar (QS. Al-Ankabut (29) : 45).
Seharusnya hikmah dari perintah sholat menjadikan seseorang mampu mengendalikan diri bahkan tidak hanya shalat ibadah lain juga, misalnya puasa. ”Tidaklah berpuasa itu menahan diri dari makan dan minum, tetapi berpuasa itu adalah menahan diri dari perbuatan kosong dan perkataan keji. Maka jika kau dicaci orang atau diperbodohnya, hendaklah katakan: ’Saya berpuasa, saya berpuasa’.” (HR Ibnu Khuzaimah, dalam Sabiq, 2007).
Meskipun memiliki wawasan yang luas tentang baik dan buruk, mana yang lebih utama dan mana yang kurang baik, tetapi tidak dibarengi kemampuan mengendalikan diri, maka wawasan-wawasan tentang kebaikan tersebut tidak bisa sepenuhnya operatif dalam hidup.
Pengertian dari pengendalikan diri atau self control adalah kemampuan untuk menghindari diri dari godaan dan tingkah laku yang tidak diinginkan demi mencapai suatu tujuan. Penelitian jangka panjang dari Walter Mischel, self control yang baik bisa memprediksi hidup yang lebih baik dalm berbagai aspek, mulai dari prestasi akademik sampai menjadi lebih sehat fisik dan mental. Penelitian lain juga menjelaskan orang dengan self control yang baik diprediksi punya hubungan interpersonal (hubungan antar pribadi dengan pribadi yang lain) yang lebih baik.
Logikanya sederhana, orang yang punya self control lebih bisa disiplin dalam menempuh proses pembelajaran, dan mereka lebih bisa menahan godaan perilaku berisiko, seperti merokok, mabuk-mabukan, selingkuh, kecanduan pornografi, dan sebagainya. Tidak hanya itu, mereka lebih bisa menerapkan pola hidup sehat seperti makan sehat, olahraga, tidur teratur dan lainnya. Orang yang punya pengendalikan diri lebih bisa menahan emosinya, sehingga mereka mampu berkomunikasi dengan baik bahkan saat marah sekalipun.
Menurut Walter Mischel ada dua cara berpikir yang berhubungan dengan self control, yaitu hot thinking dan cool thinking. Cool thinking adalah cara berpikir yang lebih lambat, kompleks, dan berpusat di lobus frontal atau bagian otak yang lebih rasional dan mengatur fungsi berpikir kompleks contohnya seperti termasuk self control. Sedangkan hot thinking adalah cara berpikir yang sederhana, cepat, dan sifatnya emosional karena berpusat di amigdala, bagian otak yang mengatur emosi.
Sederhananya, cool thinking lebih hati-hati dan rasional sedangkan hot thinking cenderung impulsif dan emosional. Orang akan lebih susah mengendalikan diri ketika dia lagi hot thinking. Ketika orang memakai hot thinking dia lebih gampang bereaksi dan hampir tidak sempat memikirkan baik dan buruk suatu hal apalagi sampai kepikiran untuk self control. Sebaliknya cool thinking bisa membantu kita melatih self control, mulai dari kontrol diri, kontrol perasaan marah dan perasaan negatif lainnya
Cara untuk mengaktifkan cool thinking dengan memulai dengan coba memindahkan fokus tentang suatu hal dari aspek yang menggugah nafsu, ke aspek lain yang lebih netral. Misalnya ketika ingin menahan diri dari rokok, saat berpikir tentang nikmatnya merokok setelah makan coba dialihkan ke hal lain yang lebih netral dan lebih objektif, mungkin berpikir warnanya, nama mereknya, dan lainnya. Hal tersebut akan meng-hack otak untuk berpikir dengan lobus frontal yang lebih rasional dan memperhatikan detailnya bukan amigdala emosional. Harapannya hal tersebut sedikit demi sedikit bisa melakukan self control.
Banyak penelitian yang mengemukakan berpikir dengan lobus frontal berperan penting dalam mengendalikan gerakan tubuh, menilai, dan merencanakan sesuatu, memecahkan masalah, serta mengatur emosi dan pengendalian diri.