Membidik Sayid Qutb
Akhirnya, pada Minggu sore, 28 Agustus 1966, bertepatan dengan 12 Jumadi Ats-Tsaniyah 1386, seminggu setelah dikeluarkannya putusan hukuman eksekusi, seluruh pimpinan redaksi media massa dihubungi melalui sambungan telepon dari kantor Sami Syaraf, Sekretaris Gamal bidang penerangan. Sekretaris itu mengeluarkan berita kepada media massa, “Pagi ini telah selesai pelaksanaan eksekusi terhadap Sayyid Quthb, Abdul Fattah Ismail, dan Muhammad Yusuf Hawwasy!”
Peristiwa eksekusi Qutb oleh Gamal ini, mengagetkan masyarakat dan dunia Islam. Karena sebelumnya hubungan antara Qutb dan Gamal adalah cukup dekat, terutama ketika menjelang berlangsungnya revolusi Agustus 1952. Beberapa hari menjelang Revolusi Mesir itu, Gamal berkunjung ke rumah Qutb. Ketika Revolusi meletus, Qutb adalah orang yang dihormati oleh para pemimpin revolusi. Media massa di Mesir saat itu banyak menampilkan gambar Qutb yang berdampingan dengan Muhammad Najib dan Gamal Abdul Nasir.
Abdullah Azzam dalam bukunya As-Syahid Sayyid Qutb, menceritakan bahwa beberapa hari setelah revolusi itu, Qutb diminta untuk menyampaikan pidato di depan ribuan orang. Termasuk yang hadir adalah wakil negara-negara Arab yang ada di Mesir, para politisi, para sastrawan, pemikir, ahli hukum, dan para guru besar dari berbagai perguruan tinggi dan akademisi. Dalam pidato itu, di antaranya Quthb menyatakan,“Sekarang revolusi betul-betul telah dimulai. Akan tetapi, kita tidak boleh menyanjung-nyanjungnya, sebab dia belum memberikan sesuatu yang berarti. Diturunkannya Raja Fuad bukanlah tujuan revolusi ini. Akan tetapi, tujuannya adalah mengembalikan negeri ini kepada Islam…Pada masa kerajaan saya selalu siap untuk dipenjarakan setiap saat, dan perkembangan hari ini pun belum menjamin keamanan diri saya. Pada saat ini, saya selalu siap untuk dijebloskan ke dalam penjara atau bahkan dipenjara lebih dari yang ada sebelumnya.”
Menyambut pernyataan Quthb itu, Gamal kemudian berpidato,
“Saudaraku Sayid Quthb, demi Allah, mereka tidak akan bisa mengganggumu kecuali harus melewati mayat kami. Kami berikan janji kami dengan nama Allah. Bahkan kami ulangi janji kami, bahwa kami akan menjadi pembela-pembelamu hingga akhir hayat kami.”
Ternyata Gamal tidak menepati janjinya. Ia kemudian menangkap Qutb, bahkan menghukumnya mati.
Dalam kehidupan politik, kawan memang bisa menjadi lawan. Di Indonesia hal ini mirip dengan kehidupan Soekarno, Mohammad Natsir dan Kartosuwiryo.
Bila kita telaah secara mendalam kehidupan dan karya Sayid Qutb, kita akan menemukan butir-butir mutiara yang mencerahkan. Sayid Qutb berjuang dengan pena dan lisan. Ia tidak pernah mendorong gerakan bersenjata, baik untuk melawan pemerintah atau musuh-musuh yang mengancamnya.
Sayid Qutb bukan seorang teroris. Ia seorang radikalis. Seorang ulama dan mujahid yang karya-karyanya mewarnai dunia hingga kini. Syahid yang hidup. Wallahu azizun hakim.
Nuim Hidayat, Penulis Buku “Sayid Qutb Biografi dan Kejernihan Pemikirannya”.