NUIM HIDAYAT

Membidik Sayid Qutb

Hari Ahad lalu (3/3), saya diundang untuk mengisi kajian Forum Intelektual Muda di sebuah pesantren di Depok. Saya menyampaikan materi tentang pemikiran-pemikiran penting ulama besar Mesir, Sayid Qutb.

Sayid Qutb memang ulama yang sering disalahpahami. Sebagian kelompok Islam mengagungkan Sayid Qutb begitu tingginya dan ingin meniru perjuangannya hingga mati syahid. Kelompok ini membolehkan cara kekerasan atau teror dalam perjuangannya. Sebagian kelompok begitu benci kepada Sayid Qutb, sehingga melarang buku-bukunya dibaca oleh kelompok atau murid-muridnya.

Kelompok orientalis, termasuk kelompok yang anti Sayid Qutb. Mereka menjulukinya dengan fundamentalis dan radikalis. Bahkan dalam sebuah pertemuan intelijen dan intelektual di Amerika setelah tragedi World Trade Centre (2004), ‘Qutbism’ dianggap sebagai biang keladi dari seluruh teror di dunia. Mereka tadinya menyebut bahwa biang keladinya adalah ‘Islamism’, tapi para peserta menolaknya. Kedua, permasalahannya adalah ‘Wahabism’, mereka pun menolaknya. Hingga disimpulkan akhirnya penyebab teror utama di dunia ini adalah “Qutbism’.

Karen Armstrong, intelektual ternama di dunia yang ikut hadir dalam pertemuan itu menyatakan bahwa Sayid Qutb adalah perintis terorisme di dunia. The Founder of Terrorism. Saya mendapat informasi itu dari seorang mahasiswa Indonesia yang lagi belajar di Amerika.  Pertemuan itu dimuat dalam Harian Inggris, The Guardian 11 Juli 2004. (Lebih lengkap tentang informasi ini bisa lihat buku saya, Imperialisme Baru)

Kepala Badan Intelijen Negara, Hendropriyono pernah mengungkap penyataan bahwa buku-buku Sayid Qutb jangan diajarkan di pesantren-pesantren. Hendro, mungkin mendapat informasi dari jaringan intelijen internasional bahwa Sayid Qutb lah biang keladi terorisme di dunia.

Melihat fenomena itu, maka saya penasaran ingin menelusuri siapa Sayid Qutb sebenarnya. Kebetulan saat itu saya lagi mau membuat tesis untuk pasca sarjana saya di Universitas Indonesia, Program Kajian Timur Tengah dan Islam (2003). Maka saya mencari-cari buku tentang Sayid Qutb, baik dalam bahasa Arab, Inggris maupun Indonesia. Kebetulan sejak saya S1 di IPB saya telah mengenal Sayid Qutb dan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin, sehingga saya tidak terlalu asing dengan pemikiran Qutb.

Meski bahasa Arab dan Inggris saya tidak terlalu bagus, tapi cukup mengerti kalau membaca dibantu kamus. Selain saya mencari di toko-toko buku dan perpustakaan, saya juga mencarinya di LIPIA, Lembaga Ilmu Pengetahuan dan Bahasa Arab di Jakarta milik pemerintah Saudi Arabia. Saya menemui Dr Daud Rasyid yang saat itu mengajar di sana. Dr Daud menyatakan bahwa buku atau kitab-kitab Sayid Qutb sekarang dilarang berada di perpustakaan LIPIA. Saya terkejut, tapi maklum karena pemerintah Saudi, setelah wafatnya Raja Faisal, tidak akrab lagi dengan tokoh-tokoh Ikhwanul Muslimin.

Akhirnya buku atau kitab-kitab Sayid Qutb itu saya dapatkan dari temen mahasiswa di Kairo, perpustakaan-perpustakaan di sekitar Jakarta dan toko-toko buku. Penulis saat itu sempat mengunjungi Perpustakaan ISTAC di Malaysia yang terkenal, dan mendapatkan beberapa buku di sana.

Setelah bahan dirasa cukup, mulailah saya menulis. Dalam perjalanan menulis itu, saya temukan bahwa di tengah-tengah orientalis membenci dan sebagian kelompok Islam memusuhi Sayid Qutb, ada dua tokoh Islam ternama yang mengidolakan Sayid Qutb. Pertama adalah Dr Shalah Abdul Fattah al Khalidi. Kedua adalah Dr Abdullah Azzam. Shalah Abdul Fattah adalah ilmuwan sejarah Islam ternama yang mengajar di Arab Saudi, sedangkan Abdullah Azzam adalah intelektual dan tokoh Islam terkemuka dalam jihad di Afghanistan. Kedua tokoh Islam ternama ini dalam buku-bukunya sering mengutip Sayid Qutb. Mereka berdua juga menulis biografi tentang kehebatan Sayid Qutb, baik dalam hal intelektualismenya maupun aktivitas jihadnya.

***

Benarkah Sayid Qutb menganjurkan kekerasan atau terorisme dalam perjuangan Islam? Kita bisa menyimak tulisan Sayid Qutb dalam bukunya:

“Para penjajah dewasa ini tidak mengalahkan kita dengan senjata dan kekuatan, tetapi melalui orang-orang kita yang telah terjajah jiwa dan pikirannya.  Kita dikalahkan oleh dampak yang ditinggalkan oleh para imperialis pada departemen pendidikan dan pengajaran, juga di pers serta buku-buku.  Kita kalah oleh pena-pena yang tenggelam dalam tinta kehinaan dan jiwa yang kerdil, sehingga pena-pena itu hanya bangga jika menulis tentang para pembesar Prancis, Inggris, dan Amerika.”

1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button