SUARA PEMBACA

Membungkam Suara Rakyat (Lagi)?

Bulan puasa adalah bulan khusyu’ ibadah. Bulan yang seharusnya menjadi momen untuk mendinginkan suasana. Namun, nampaknya tak pernah ada kata puasa dalam politik. Belum kelar panasnya suhu politik, kegaduhan baru muncul dari wacana Menkopulhukam, Wiranto yang akan membemtuk Tim Hukum Nasional. Tim itu dibentuk untuk merespon tindakan, ucapan, maupun pemikiran tokoh yang mengarah ke perbuatan melawan hukum. Lebih lanjut, mantan Panglima ABRI ini berkata pihaknya tidak akan membiarkan ada pihak yang mencerca hingga memaki presiden Jokowi yang masih secara sah menjabat hingga Oktober 2019.

“Tidak bisa dibiarkan rongrongan terhadap negara yang sedang sah, bahkan cercaan, makian, terhadap presiden yang masih sah sampai nanti bulan Oktober tahun ini masih menjadi Presiden. Itu sudah ada hukumnya, ada sanksinya,” ujarnya, seperti dilansir cnnindonesia.com, (Senin, 6/05/2019).

Tak mengherankan bila banyak pihak mengkritisi rencana Wiranto. Sebab, payung hukum terhadap perbuatan yang melawan hukum dan menghina presiden sudah diatur dalam Undang-Undang yang ada. Pembentukan Tim Hukum Nasional dianggap makin membatasi dan membungkam suara rakyat terhadap kinerja pemerintah. Artinya, usulan Wiranto dinilai mencederai demokrasi dan kebebasan berpendapat yang dilindungi Undang-Undang.

Entah apa yang dimaksud dengan perbuatan melawan hukum menurut Wiranto. Sebab, seringkali tafsiran melawan hukum versi pemerintah dengan versi rakyat berbeda. Pasalnya, ketidakadilan hukum di rezim Jokowi sangat kentara. Maka, wajar saja bila masyarakat merasa aneh dengan usulan Wiranto.

Pertama, berpotensi mengulang masa Orde Baru. Jika kritikan rakyat dianggap merongrong pemerintah, maka masa reformasi menjadi tidak ada artinya. Hal ini serupa dengan gaya kepemimpinan Orde Baru. Siapapun yang mengkritisi pemerintah saat itu dibungkam dengan berbagai alasan. Baik tudingan anti-pancasila, anti NKRI, kudeta, mengancam keamanan nasional, dan sebagainya. Penerapan UU ITE saja sudah banyak disalahgunakan. Apatah lagi pembentukan Tim Hukum Nasional, bukankah itu seperti mengawasi gerak gerik rakyat di ruang publik?

Kedua, kebijakan Tim Hukum Nasional itu mubazir. Sudah terlalu banyak mekanisme hukum yang mengatur tentang penyampaian pendapat di muka umum. Maka rencana Wiranto dinilai tidak tepat. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti, Abdul Fickar Hadja, mengatakan hukum tidak boleh menjadi alat represif bagi oposisi atau bagi tokoh-tokoh masyarakat dalam berekspresi. Jangan sampai itu menjadi kebijakan yang tidak produktif. Apalagi jika hanya digunakan untuk membungkam pihak oposisi dan tokoh yang kritis terhadap pemerintah. Senada dengan hal itu, Puri Kencana Putri, peneliti Amnesty International Indonesia, mengungkap wacana itu hanya akan memperkecil ruang sipil mengkritik pemerintah. Jangan tambahkan beban pidana kepada publik.

Ada baiknya pemerintah belajar bagaimana mendinginkan panasnya suhu politik. Bukan malah melontarkan wacana yang justru memperkeruh suasana dan hubungan pemerintah dengan rakyat. Jika di era ini rakyat banyak mengkritik, maka jadikan itu bahan untuk evaluasi diri. Tak akan ada asap tanpa api. Tak ada kritik, bila rakyat puas hati. Artinya, memang ada banyak hal dari pemerintah yang membuat rakyat merasa tak nyaman dengan rezim sekarang. Hal itu bernama keadilan. Perlawanan rakyat terhadap sikap penguasa yang terkesan ‘mau menang sendiri’ merupakan hal fitrah yang ada dalam diri manusia. Mana ada orang diam jika ia diperlakukan tak adil? Pasti naluri ‘melawan’nya akan muncul.

Mumpung bulan ramadhan, jadikan puasa sebagai perisai dalam perbuatan. Hindari sikap represif, anti kritik, dan sikap negatif lainnya kepada rakyat. Kalian adalah pelayan rakyat, bukan rakyat yang melayani kalian. Semoga Allah Ta’ala bukakan rahmat untuk kita semua, utamanya para penguasa agar menjadi pemimpin yang dicintai Allah, Rasul-Nya, dan rakyatnya.

Chusnatul Jannah
Lingkar Studi Perempuan dan Peradaban

Artikel Terkait

Back to top button