OPINI

Mencari Sosok Negarawan Sejati

Bahkan yang paling tidak bisa diterima akal sehat adalah politik pragmatis yang dipraktekkan oleh PSI (Partai Solidaritas Indonesia) di tengah merosotnya tingkat elektabilitas jagoannya dalam pemilu mendatang. Justru apa yang dilakukan oleh PSI merusak citra politik kubu petahana yang diusungnya di tengah rakyat Indonesia yang mayoritas muslim. PSI dengan pongah menolak perda-perda syariah yang dibilangnya diskriminatif (merdeka.com, 19 Nopember 2018). Bahkan tidak segan – segan PSI menuding syariat poligami sebagai ketidakadilan terhadap perempuan yang dilembagakan (matamatapolitik.com, 15 Desember 2018). Pada kesempatan yang berbeda, Grace Natalie dalam pidatonya menyatakan bahwa Nasionalis gadungan adalah mereka yang mengaku nasionalis tapi berusaha meloloskan perda – perda syariah yang diskriminatif (beritasatu.com, 11 Februari 2019).

Tidak habis dipikir di Indonesia yang mayoritasnya muslim ini, masih ada orang yang dengan bebas menyatakan ujaran kebencian sedemikian. Lontaran -lontaran PSI sesungguhnya bisa terkategori ke dalam ujaran kebencian. Dalam kacamata politik, justru arus nyleneh ini hanya merupakan perbuatan bunuh diri politik.

Merumuskan Pilar-pilar Seorang Negarawan

Memang secara obyektif harus diakui bahwa di saat membandingkan perilaku politik antara George Bush Jr dengan Obama terlihat ada perbedaan. Perbedaan yang tampak hanya pada tataran strategi dan taktik politiknya. Paham dan ideologi politiknya tetap. Bahwa USA sebagai negara berideologi Kapitalisme tetap sebagai penjajah.

Adapun pragmatisme politik yang ada di dalam negeri tidak lebih muncul dari sikap inferior terhadap negara-negara besar yang punya basis ideologi internasional, baik negara – negara tersebut berideologi Kapitalisme maupun Komunisme. Jadi strategi dan taktik politik mereka yang pragmatis itu muncul dari paham dan ideologi politik yang diwarnai oleh kedua ideologi internasional tersebut. Satu kakinya berada dalam pusaran kepentingan negara kapitalis dan satu kakinya yang lain berada dalam pusaran kepentingan negara-negara komunis. Tidak ada interest bagi mereka untuk memindahkan kakinya untuk berada di dalam pusaran ideologi Islam. Di samping karena tidak ada negara besar penyokongnya, secara policy tidak menguntungkan.

Uniknya Ideologi Islam ini tidak mungkin untuk dicampuradukkan dengan kedua ideologi yang lain. Justru Kapitalisme dan Komunisme ini menjadikan Islam sebagai common enemy. Bandul politik lebih menguntungkan dicondongkan kepada Kapitalisme maupun Komunisme. Maka tidak mengherankan bila di Indonesia terdapat cengkeraman asing (Kapitalisme) dan aseng (Komunisme) (konfrontasi.com, 8 April 2017).

Mestinya agenda politik yang utama bagi negeri ini adalah melepaskan diri dari dominasi timur maupun barat. Jati diri negeri sebagai negeri muslim terbesar mendesak untuk dipertegas kembali. Sesungguhnya adalah pengakuan yang jujur bahwa kemerdekaan Indonesia bisa diraih sebagai berkat dan rahmat dari Allah SWT. Maka berikut ini beberapa hal yang bisa menjadi acuan dalam rangka melahirkan sosok-sosok negarawan sejati bagi Indonesia.

Pertama, negarawan sejati mempunyai pemahaman politik yang benar. Bukan politik ala Machiavelli yang pragmatis sebagaimana rumusannya dalam The Prince, yang hanya mengejar kekuasaan dan jabatan. Akan tetapi pemahaman politik yang dijiwai oleh nilai – nilai penghambaa kepada Tuhan. Ia memiliki koridor dan kendali dalam melaksanakan aktivitas politiknya.

Kedua, negarawan sejati mempunyai orientasi kepada pengurusan dan pelayanan kepada masyarakat dan rakyatnya dengan baik. Mereka menyadari betul bahwa kepentingan masyarakat yang terlayani dengan baik merupakan tujuan aktivitas politik yang dijalankannya.

Kesadaran bahwa pemimpin rakyat adalah pelayannya, menggerakkan mereka untuk selalu membela kepentingan-kepentingan rakyatnya. Negarawan itu tidak harus menduduki sebuah pemerintahan. Seorang negarawan akan meriayah kepentingan rakyatnya. Ketika ia sebagai pejabat publik tentunya regulasi yang ada digunakan untuk menjadi payung hukum dan perlindungan bagi rakyatnya. Sedangkan jika ia bukanlah pejabat publik, maka ia akan selalu siap melakukan koreksi kepada setiap kebijakan para pemimpin dan pejabat yang dipandangnya akan menyengsarakan rakyat. Mereka akan selalu mengadopsi kepentingan-kepentingan untuk kemaslahatan umat dan rakyat secara umum.

Laman sebelumnya 1 2 3Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button