SUARA PEMBACA

Mengakhiri Karut-marut Pembelajaran di Tengah Pandemi

Hingga mendekati hari kemerdekaan 17 Agustus 2020, wabah pandemi juga tak kunjung mereda. Jumlah positif corona semakin melonjak, pun yang meninggal dunia juga bertambah banyak. Akibat pandemi juga berdampak pada sektor pendidikan, sampai hari ini pembelajaran masih dari jarak jauh (daring) menjadi pilihan. Karut-marut dunia pendidikan semakin terasa di tengah pandemi tatkala kebijakkan daring ditetapkan secara nasional sejak Maret 2020.

Banyaknya kendala dan masalah dari pembelajaran daring membuat dilematis. Banyak yang mengeluhkan disebabkan ketidaksiapan negara berada pada kondisi pandemi. Atas desakkan berbagai pihak, hingga dalam pemberitaan terakhir dilansir dari laman GridHits.id, Mendikbud Nadiem Makarim mengumumkan bahwa SMK dan perguruan tinggi di seluruh zona sudah diperbolehkan untuk melakukan sekolah secara tatap muka.

Namun Nadiem tetap menegaskan bahwa protokol kesehatan harus tetap dilakukan secara ketat. Untuk SMK maupun perguruan tinggi di semua tempat boleh melakukan praktik di sekolah, yaitu pembelajaran produktif. Menurut Nadiem yang harus menggunakan mesin, laboratorium ini bisa untuk melaksanakan praktik tersebut ke sekolah. Meski demikian, untuk pembelajaran teori harus diminta tetap secara online. Semua mata pelajaran yang bersifat teori masih harus dilakukan dengan PJJ (Pembelajaran Jarak Jauh).

Sementara untuk jenjang lain seperti SD, SMP, dan SMA yang berada di zona kuning dan zona hijau, pembelajaran tatap muka juga dapat dilakukan. Namun pembelajaran tersebut menggunakan ketentuan maksimal peserta didik yang hadir sebanyak 18 anak. Sementara sebagian siswa di waktu selanjutnya. Sistem ini harus dilakukan dan wajib menggunakan sistem rotasi. Kapasitas itu harus dilakukan. (7/8/2020)

Menanggapi pemberlakuan sekolah tatap muka ini seperti dilansir dalam laman berita TRIBUNNEWS.COM, Ketua Komnas Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), Arist Merdeka Sirait memberikan tanggapan terkait adanya rencana pembelajaran tatap muka di sekolah.

Meskipun sekolah tatap muka bersyarat, Arist Sirait menilai bahwa keputusan dari Kemendikbud tersebut belum tepat waktunya, mengingat risiko untuk tertular masih ada, terlebih untuk zona kuning. Dirinya menegaskan bukan karena tidak percaya dengan protokol kesehatan yang digalakkan oleh pemerintah dan pihak sekolah.

Namun menurutnya, lebih melihat dari sudut pandang siswa, khususnya untuk sekolah dasar yang memiliki sifat masih kekanak-kanakkan. Siapa yang menjamin ini? Sekali lagi pertimbangannya adalah dunia anak adalah dunia bermain. Nanti bisa mereka tidak tahu apa yang akan terjadi karena ada temannya yang maskernya lebih baik, pinjam-pinjaman, itu dunia anak ujar Sirait, (8/8/2020).

Ya. bagaimana pun juga pembelajaran online tidak bisa menggantikan sepenuhnya sekolah tatap muka. Di tambah lagi dari segi pertanggungjawaban pemerintah tidak memberikan kemudahan dalam pelaksanaannya. Hingga sekolah tatap muka menjadi tuntutan dan harapan banyak pihak agar tercapai target pembelajaran dan menghilangkan kendala BJJ.

Namun pertanyaannya sudah siapkah sekolah-sekolah hari ini menerapkan pembelajaran tatap muka? Pertanyaan besar yang mesti dijawab oleh semua pihak adalah jika dilakukan pembelajaran dengan tatap muka, mampukah pihak sekolah untuk menjaga setiap warga sekolah dari ancaman penularan covid-19? Bukankah ini permasalahan yang besar? Coba kita renungkan bersama, sejak aturan dilonggarkan terjadi peningkatan kasus positif covid-19 yang sangat tinggi.

Bukankah penularan covid ini terjadi pada saat sekolah daring? Bagaimana jika keadaan serupa terjadi saat pembelajaran dengan tatap muka dilangsungkan? Apakah guru hanya akan disibukkan untuk menjaga peserta didik? Jika demikian, kapan pembelajarannya dapat dimulai? Padahal guru adalah sosok kunci dalam memajukan negeri ini. Betapa pentingnya peran guru dalam pembelajaran. Apapun format pembelajaran yang dilakukan, guru adalah kunci. Termasuk jika dianggap guru sedang melakukan fungsi sebagai fasilitator dalam pembelajaran, tetap saja guru adalah sosok kunci.

Berbagai polemik dan karut marut dunia pendidikan di tengah pandemi ini, menambah kelamnya dunia pendidikan di negeri ini. Sayangnya direspon pemerintah dengan kebijakan sporadis, tidak terarah dan memenuhi desakan publik tanpa diiringi persiapan memadai agar risiko bahaya bisa diminimalisir.

Berbagai kebijakkan yang tak sinkron dan seakan tidak memberikan solusi diantaranya: pertama, pemerintah mengijinkan penggunaan dana BOS untuk keperluan kuota internet sedangkan masalah tidak adanya jaringan internet tidak dicarikan solusi. Kedua, pemerintah mengijinkan semua SMK dan PT di semua zona untuk belajar dengan tatap muka agar bisa praktik tidak diimbangi penyiapan protocol kesehatan yang matang dan sesuai prosedur.

Ketiga, kebijakkan pemerintah berubah-ubah tentang kebolehan tatap muka di zona kuning-hijau maupun mewacanakan kurikulum darurat selama Belajar Dari Rumah.

Semua fakta kebijakan di atas menunjukkan lemahnya pemerintah dalam negeri yang menerapkan sistem sekuler mengatasi masalah pendidikan akibat tersanderanya kebijakan dengan kepentingan ekonomi dan tidak adanya jaminan pendidikan sebagai kebutuhan publik yang wajib dijamin penyelenggaraannya oleh negara.

Maka untuk mengakhiri sesegera mungkin pandemi dengan melihat angka-angka yang muncul dalam jumlah temuan kasus positif covid-19 setiap hari adalah perkara urgen bagi negara. Sekolah tatap muka tetap tidak akan efektif dilaksanakan dalam kondisi pandemi, pun pembelajaran daring jika tidak ada kemudahan yang diberikan pemerintah untuk pelaksanaanya.

Kiranya sangat perlu upaya yang maksimal dari pemerintah untuk mengatasi setiap problem masa pandemi ini. Jika pilihan adalah sekolah tatap muka maka, pemerintah harus meyakinkan masyarakat bahwa penyebaran covid-19 telah mampu dikendalikan. Jika tidak, maka lebih baik pembelajaran tidak dilakukan dengan tatap muka.

Pilihan menunda pembelajaran dengan tatap muka adalah pilihan yang paling masuk akal saat ini. Keselamatan jiwa generasi penerus bangsa itu jauh lebih penting, termasuk di dalamnya keselamatan para pendidik selaku kreator calon-calon pemimpin bangsa di masa depan.

Seyogianya, pihak pemerintah dan pihak sekolah tetap memilih pembelajaran online, pembelajaran mandiri maupun perpaduan keduanya. Pun pemerintah harus berupaya maksimal untuk menyediakan segala perangkat untuk pembelajaran online, baik fasilitas, kuota gratis, akses internet yang terjangkau hingga ke pelosok negeri. Selain itu harus dipastikan bahwa pendidik dan peserta didik sama-sama menguasai keterampilan literasi TIK.

Kedua syarat ini harus terpenuhi pemerintah, jika hanya tersedia salah satu, maka itu tidak akan bisa terlaksana. Namun pertanyaanya adalah akankah pemerintahan yang peduli, maksimal dalam pengurusan rakyat didapatkan dan dirasakan dalam sistem kapitalis sekuler?

Tidakkah berjalannya pandemi selama ini melanda negeri dengan tanpa pengurusan yang optimal adalah menjadi bukti kegagalan dari sistem kapitalis sekuler dalam menyelesaikan problem rakyat dan negara? bukankah segala karut marut yang terjadi saat pandemi ini termasuk dalam dunia pendidikan bukti kesekian atas kesalahan negeri dalam mengambil aturan sistem bernegara?

Maka paradigma pengurusan negara dan sistem berbangsa harus segera dirubah. Harus segera beralih pada sistem aturan dari Sang Khaliq Allah SWT yaitu sistem Islam. Sebab dengannya lah kehidupan yang sejahtera, adil, makmur, berkah dan penuh pengurusan dapat dirasakan baik muslim maupun non muslim. Dengan sistem Islam, tidak akan didapatkan karut marut dunia pendidikan seperti saat ini.

Sebab dalam Islam menuntut ilmu adalah kewajiban setiap individu, dan menyediakan pendidikan yang berkualitas, murah bahkan gratis adalah kewajiban negara. Artinya mau masa pandemi atau tidak pendidikan prioritas negara dalam pemenuhannya. Begitulah Islam mengaturnya, tidakkah kita merindukannya?

Nelly, M.Pd
Pemerhati Dunia Pendidikan, Alumnus Manajemen Pendidikan Islam

Artikel Terkait

Back to top button