Mengenal Kesultanan Tidore: Pendiri, Kejayaan, dan Penguasanya
Sebelumnya, kerajaan tetangga yakni Kesultanan Ternate telah terlebih dulu menjalin relasi dengan bangsa Portugis. Pada masa itu, Spanyol dan Portugis sedang bersaing menanamkan pengaruh di kawasan timur Nusantara.
Suasana persaingan pun semakin panas. Portugis berambisi merebut Tidore dari pengaruh Spanyol. Darmawijaya dalam Kesultanan Islam Nusantara (2010:135) menyebutkan, terjadi beberapa kali peperangan dengan Portugis dan Tidore.
Pertikaian ini berakhir dengan perjanjian damai. Portugis bersedia menarik armadanya dari Tidore namun dengan syarat.
Syaratnya adalah semua hasil rempah-rempah dari Tidore hanya boleh dijual kepada Portugis dengan harga seperti yang dibayarkan Portugis kepada Ternate.
Masa Kejayaan Kesultanan Tidore
Kejayaan Kesultanan Tidore terjadi pada masa Sultan Saifuddin (1657-1689 M) yang berhasil membawa kemajuan hingga Tidore disegani oleh kerajaan-kerajaan lain di Kepulauan Maluku.
Masa keemasan Kesultanan Tidore juga dirasakan di era kepemimpinan Sultan Nuku pada awal abad ke-19. Sultan Nuku memperluas wilayah kekuasaan Tidore sampai ke Papua bagian Barat, Kepulauan Kei, Kepulauan Aru, bahkan sampai Kepulauan Pasifik.
Sejarah hidup Sultan Nuku (1797-1805 Masehi) amat heroik. Memimpin Kesultanan Tidore di Maluku Utara, ia berulangkali mengalahkan VOC atau Belanda. Sultan Nuku tak pernah kalah.
Lahir pada 1738 dengan nama Muhammad Amiruddin di Soasiu, Tidore, Maluku Utara, Pangeran Nuku adalah pangeran putra kesayangan Sultan Muhammad Mashud Jamaluddin yang bertakhta sejak 1757.
Tanggal 11 November 1781, Pangeran Nuku diangkat sebagai pemimpin oleh para pendukungnya di tanah pelarian, Halmahera bagian selatan, dengan gelar Sri Maha Tuan Sultan Amiruddin Syaifuddin Syah Kaicil Paparangan.
Pangeran Nuku -yang seharusnya menjadi pewaris takhta yang sah- kala itu memang dalam pelarian akibat polemik internal yang terjadi di Kesultanan Tidore dan diperkeruh dengan campur tangan VOC.
Nuku tidak hanya dibantu oleh raja-raja kecil di sebagian kawasan Indonesia timur saja. Ia juga melibatkan orang-orang Mindanao (kini termasuk wilayah Filipina) dan mendapat bantuan dari Inggris yang memang menjadi pesaing terkuat Belanda.