OPINI

Kesultanan Papua Bagian dari Kesultanan Melayu Raya

Islam hadir di Papua sejak lima abad yang lalu atau sekitar 500 tahun yang lalu yang dibawa oleh para pendakwah dari beberapa kesultanan di Nusantara, seperti Kesultanan Tidore, Kesultanan Samudera Pasai dan Kesultanan Bacan.

Sebelum Islam hadir di tanah emas ini, wilayah ini juga sudah dikenal oleh para Raja-Raja Sriwijaya, yang menyebut wilayah ini dengan nama Janggi, sedangkan kata Papua (Pua-Pua) sendiri berasal dari bahasa Melayu kuno bermakna, berambut keriting, karena kita tahu masyarakat Papua memiliki rambut keriting dan kulit gelap.

Islam telah menancapkan cahayanya di tanah emas ini yang disebarkan oleh para ulama-ulama dari dari kesultanan di Nusantara, salah satunya adalah ulama dari Kesultanan Bacan (Maluku/ Mulukiyah). Di Maluku terdapat empat Kesultanan, yaitu, Bacan, Jailolo, Ternate dan Tidore (Moloku Kie Raha atau Mamlakatul Mulukiyah). Kesultanan Bacan adalah Kesultanan tertua di Maluku. Syiar Islam oleh Kesultanan Bacan disebarkan di wilayah Raja Ampat.

Dakwah Islam diterima oleh masyarakat Papua saat itu karena persamaan bahasa dengan wilayah Kesultanan Maluku dan tentunya Islam disebarkan lewat jalan damai. kesultanan Bacan membentuk empat kesultanan (Kolano Fat/ Raja Empat/Raja Ampat) kecil di wilayah Papua, diantaranya adalah Kaicil Patra War, bergelar Komalo Gurabesi (Kapita Gurabesi) di Pulau Waigeo, Kaicil Patra War bergelar Kapas Lolo di Pulau Salawati. Kaicil Patra Mustari bergelar Komalo Nagi di Misool, Kaicil Boki Lima Tera bergelar Komalo Boki Sailia di Pulau Seram. Isitilah Kaicil adalah gelar anak laki-laki Sultan Maluku. Sedangkan, nama Pulau Salawati diambil dari kata Shalawat.

Selain itu Sultan Bacan juga memberikan nama-nama pulau di wilayah Papua lainnya. Seperti Pulau Saunek Mounde (buang sauh di depan), Teminanbuan (tebing dan air terbuang), War Samdin (air sembahyang). War Zum-zum (penguasa atas sumur) dan lainnya. Nama-nama tersebut merupakan bukti-bukti peninggalan nama-nama tempat dan keturunan Raja Bacan yang menjadi Raja-raja Islam di Kepulauan Raja Ampat.

Selain dari Kesultanan Bacan, Sultan Ibnu Mansur (Sultan Tidore X) juga melakukan ekspedisi ke Papua dengan satu armada kora-kora. Ekspedisi ini menjelajahi Pulau Waieo, Batanta, Salawati, Misool di Kepulauan Raja Ampat. Di wilayah Misool, Sultan Ibnu Mansur disebut Sultan Papua I oleh masyarakat setempat dan beliau juga mengangkat Kaicil Patra War, putra Sultan Bacan dengan gelar Komalo Gurabesi. Kacili Patra War kemudian dinikahkan dengan putri Sultan Ibnu Mansur, yaitu Boki Thayyibah. Dari penikahan inilah Kesultanan Tidore memperluas pengaruhnya hingga ke Raja Ampat bahkan hingga Biak.

Islam juga disebarluaskan ke berbagai wilayah pesisir Papua Barat, seperti Kokas, Kaimana, Namatota, Kayu Merah, Aiduma dan Lakahia oleh para pedagang Muslim seperti dari Bugis, Buton, Ternate dan Tidore. Selain melakukan perdagangan mereka juga memiliki misi untuk mendakwahkan Islam kependuduk setempat.

Dari hubungan perdagangan dan dakwah inilah lahirlah Kesultanan-Kesultanan Otonomi Tidore di Papua, seperti di wilayah Raja Ampat yang terdiri dari Kerajaan Waigeo (yang berpusat di Weweyai), Kerajaan Salawati (Shalawat) (berpusat di Sailolof), Kerajaan Misool (berpusat di Lilinta) dan Kerajaan Batanta.

Kesultanan-kesultanan otonomi ini diangkat langsung oleh Sultan Tidore yang berkuasa saat itu. Sedangkan di Fak-Fak dan Kaimanan terdapat sembilan kerajaan otonom dibawah kesultanan Tidore, diantaranya Petuanan Namatota, Komisi, Fatagar, Ati-ati, Rumbati, Pattipi, Sekar, Wertuar dan Arguni. Pengangkatan penguasa di wilayah ini juga diangkat langsung oleh Sultan Tidore.

Hukum Islam juga diterapkan di wilayah Papua pada saat itu, di wilayah Misool diangkat Qadhi (Hakim) Syara’ yang mengurusi umat di wilayah tersebut. Masyarakat pribumi Papua juga banyak yang memakai nama-nama Islami seperti, Idris, Hamid, Muhammad dll yang bisa kita jumpai di wilayah Lapinton dan Beo.

Syiar Islam juga menjadikan para kepala suku di Papua jatuh cinta kepada Islam yang akhirnya banyak diantara dari mereka yang memeluk Islam, dari sinilah Islam semakin mudah diterima oleh masyarakat Papua, karena memang masyarakat Papua dikenal sangat bergantung kepada kepala suku mereka. []

Gesang Ginanjar R.
(Pemerhati Sejarah Islam)

Artikel Terkait

Back to top button