SILATURAHIM

Mengenang Wartawan Senior Media Dakwah

“Mas Aru, gaya tulisannya vulgar, terbuka, kesetiakawanannya tinggi”

Panggilan akrabnya Mas Aru. Nama lengkapnya Mohammad Aru Syeif Fachruddin Assadullah. Nama yang sarat doa. Wafat Sabtu, 8 Juli 2023 di RS UI Depok. Saya mengenalnya sejak tahun 1981, sejak Mas Aru masih wartawan Media Dakwah. Sedangkan saya sendiri di Redaksi Majalah Suara Masjid. Kedua terbitan ini, sama sama di bawah naungan Dewan Da’wah, hanya beda judul dan beda fokus.

Saya terkesan kepada Mas Aru. Sebagai wartawan, beliau sangat lugas di lapangan dan memiliki jaringan pertemanan yang luas dengan tokoh-tokoh penting. Mas Aru ini memiliki karakter yang unik jika menulis berita. Bentuk penulisan beritanya selalu vulgar, apa adanya. Baik dibilang baik, buruk dikatakan buruk, tanpa rasa takut kepada siapa pun jika ada yang tidak terima dengan kandungan pemberitaannya. Ya, sesuai dengan karakter Mas Aru yang pemberani.

Namun perlu dicatat dengan tinta emas adalah kesetiakawanan, solidaritas dan pengertiannya kepada teman begitu tinggi.

Hal ini dibuktikan ketika saya mendapat tugas berdakwah bersama Kiai Haji Amien Bachrun ke Belanda dan Suriname tahun 1983. Terus terang saya meminta Mas Aru agar beliau bersedia menggantikan tugas saya di majalah Suara Masjid karena perjalanan tugas saya meninggalkan tanah air akan memakan waktu lebih dari satu bulan.

Beliau dengan ringannya menyatakan siap membantu. Alhamduliilah, Suara Masjid pun dapat terbit tepat waktu berkat bantuan Mas Aru.

Walaupun gaya tulisan saya sedikit berbeda, tetapi saya bangga. Ketika saya menelepon langsung ke kantor Suara Masjid dari Paramaribo, Amerika Selatan, dan diterima oleh Mas Kasri, saya mengabarkan hal-hal yang berkait dengan kegiatan saya di Paramaribo. Dan apa yang terjadi kemudian? Berita saya muncul, dituliskan oleh Mas Aru bahwa jurnalis SM melaporkan langsung melalui jaringan telpon internasional dari Amerika Selatan.

Almarhum adalah seorang yang rajin dan pekerja keras. Memiliki tingkat kesetiakawanan kualitas super, loyal serta terbuka.

Ketika saya masih masih mengontrak rumah di kawasan Jalan Bonang, di belakang rumah wartawan senior Muchtar Lubis dan Ibu Hartini Sukarno, Mas Aru-lah yang menyemangati saya untuk memiliki rumah. Ia menyarankan agar membeli rumah di Desa Cipadu, Tangerang, berdekatan dengannya.

Beliau pun mengantar saya mensurvei rumah di Desa Cipadu seperti yang direferensikannya. Kami jalan berboncengan menggunakan motor.

Tak lama kemudian saya mendengar Majalah Kiblat pimpinan Musyaffa Basyir menyiapkan program kepemilikan rumah BTN untuk para wartawannya. Saya mengusakannya dan alhamdulillah difasilitasi. Maka jadilah saya memiliki rumah dengan fasilitas Majalah Kiblat, sebagaimana saran Mas Aru. Saya menempatinya tahun 1984.

Seiring perjalanan waktu, sekitar tahun 1990-an, majalah Suara Masjid dan majalah Media Dakwah, serta media-media lainnya mulai kolaps. Kami berpisah jalan sementara, menyelamatkan periuk masing-masing.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button