Menjawab Tuduhan-Tuduhan Miring terhadap Imam Al-Ghazali
Kedua, tentang Jihad Imam Al-Ghazali pada masa Perang Salib, maka sejarawan Dr Majid Irsan al Kilani telah membeberkan dalam bukunya yang menarik Hakadza Zhahara Jilu Shalahuddin wa Hakadza Adat al Quds. Menurut Kilani, pada masa Perang Salib, Al-Ghazali juga berjuang melalui gerakan ishlah dengan metode al insihab wa al awdah. Maksud dari al insihab artinya mengundurkan diri dari lingkungan yang penuh syubhat dan jabatan-jabatan yang menggiurkan. Kemudian menfokuskan perhatian untuk berbenah diri, mengevaluasi dan memperbaharui pemikirannya yang selama ini salah. Adapun awdah maksudnya adalah kembali ke tengah masyarakat dan menjalankan proses ishlah dengan amar makruf dan nahyi munkar.
Al Kilani menegaskan bahwa mereka yang menuduh Al-Ghazali memilih jalan sufi yang pasif pada masa Perang Salib itu keliru. Pandangan seperti itu muncul karena cara berpikir yang parsial, dangkal dan tidak memahami metode perjuangan Al-Ghazali.
Dalam gerakan ishlahnya Al-Ghazali melakukan langkah-langkah berikut ini:
- Melahirkan generasi baru ulama dan pendidik
- Melahirkan sistem baru dalam bidang pendidikan dan pengajaran
- Menghidupkan amar makruf dan nahyi munkar
- Mengritik penguasa zalim
- Mengritik gaya hidup materialism dan praktik keagamaan yang menyimpang
- Menyerukan keadilan sosial
- Memberantas aliran-aliran sesat
Pandangan Al-Ghazali tentang jihad juga dikutip oleh Syekh Ali al Sulami dalam kitab al Jihad. Di antaranya Al-Ghazali menyatakan, ”Jihad adalah fardhu kifayah. Jika salah satu kelompok yang berjuang melawan musuh sudah mencukupi, maka mereka dapat berjuang keras melawan musuh. Tetapi jika kelompok itu lemah dan tidak memadai untuk menghadapi musuh dan menghapuskan kejahatannya, maka kewajiban itu dibebankan kepada negara terdekat, seperti Syria misalnya. Jika musuh menyerang salah satu kota di Syria, dan penduduk di kota itu tidak mencukupi untuk menghadapinya, maka adalah kewajiban bagi seluruh kota di Syria untuk mengirimkan penduduknya untuk berperang melawan penjajah sampai jumlahnya memadai.”
Ketiga, beberapa ahli sejarah sains seperti JJ Sounders, Giordano de Santilana, bahkan Sayyed Hossein Nasr sepakat menyalahkan Al-Ghazali. Menurut mereka, serangan Al-Ghazali kepada para filosof adalah sebab utama keruntuhan sains di dunia Islam. Pandangan ini juga diamini oleh Pervez Hoodboy, ahli fisika lulusan MIT. Menurutnya, Al-Ghazali adalah orang yang bertanggungjawab menghancurkan bangunan sains di dunia Islam.
Mereka sebenarnya telah salah memahami pemikiran Al-Ghazali. Lebih dari 30 tahun, Imam Ghazali mendalami berbagai pemikiran itu. Ia mengatakan, ”Sejak usia muda, menginjak usia baligh sebelum usia dua puluh tahun, sampai saat ini –di usiaku lebih dari lima puluh tahun- aku sudah menyelami samudera yang dalam ini. Aku salami gelombangnya, seperti menyelamnya seorang pemberani. Aku terobos setiap kegelapan, aku terjang setiap kesulitan. Aku dobrak setiap permasalahan. Aku investigasi keyakinan setiap sekte. Dan aku singkap rahasia mazhab setiap kelompok, agar bisa membedakan antara yang haq dan yang batil, antara pecinta Sunnah dan pelaku Bid’ah. Aku tidak meninggalkan penganut Bathini (Esoterisme), kecuali aku senang menelaah pemahaman kebatinan mereka. Tidak pula ketinggalkan seorang penganut Zhahiri (Eksoterisme), kecuali aku mengetahui hasil kezhahiran mereka. Tidak juga penganut filsafat, kecuali aku fahami intisari filsafatnya. Begitu juga ahli Kalam, kecuali aku bersungguh-sungguh untuk menyingkap puncak kalamnya dan dialektikanya. Tidak juga penganut tasawuf, kecuali aku berambisi untuk menelusuri rahasia inti ajaran tasawufnya. Tidak juga kutinggalkan ahli ibadah, kecuali aku amati hasil yang diperoleh dari ibadahnya. Tidak pula kalangan zindiq yang ateis, kecuali aku selidiki sesuatu yang dibalik mereka, agar aku menyadari sebab-sebab kelancangan mereka dalam kezindiqan dan keateisannya.”
Begitu juga ketika mengkritik filsafat Imam Al-Ghazali menelaahnya secara mendalam, ia mengatakan, ”Kemudian aku mengerahkan segala usaha untuk mendalami ilmu itu (filsafat) dari berbagai kitab, secara mandiri tanpa bantuan seorang ahli dan guru. Aku menfokuskan penelaahan itu di sela-sela waktu luangku dari tugas mengajar dan mengarang buku tentang ilmu-ilmu syariah. Padahal ketika itu aku harus mengajar dan membimbing 300 orang murid di Baghdad. Akhirnya Allah SWT tunjukkan kepadaku meskipun hanya melalui penalaahan di waktu-waktu luang itu- puncak ilmu-ilmu mereka dalam waktu kurang dari dua tahun. Kemudian aku terus merenungkannya –setelah aku memahaminya- sekitar satu tahun. Aku ulang-ulang kembali, aku periksa lagi, sampai akhirnya aku mampu menemukan tipu daya dan pengkaburan, realitas dan ilusi, dengan penelaahan yang tidak kuragukan lagi.”
Karena itu, pakar filsafat Islam, Dr Mahmud Hamdi Zaqzuq menolak tuduhan bahwa Al-Ghazali adalah sosok ulama anti filsafat. Memang benar Al-Ghazali mengkritik pemikiran filosof, tapi tidak mengingkari filsafat. Dr Zaqzuq menyatakan, ”Kita dapat mengemukakan bahwa Al-Ghazali sendiri memahami Tahafut al Falasifah sebagai kritik dan penghancur terhadap ajaran-ajaran kontradiktif para filosof Muslim yang menganut Aristotelianisme. Akan tetapi perlu dicatat bahwa di dalam karyanya itu, tidak terdapat ungkapan yang mengingkari filsafat dan akal budi yang sehat.”
Zaqzuq juga mengutip T de Boer yang menyatakan, ”Seringkali dikatakan bahwa Al-Ghazalilah yang menghancurkan filsafat di Timur sehingga tidak bangkit lagi. Namun ini merupakan persangkaan keliru yang tidak didukung oleh sarjana dan realitas yang ada. Jumlah para penuntut filsafat dan guru besarnya, setelah masa Al-Ghazali, mencapai jumlah ratusan dan malah ribuan.”
Pasca Al-Ghazali para filosof Muslim datang silih berganti. Sebut saja, Ibn Bajjah (w. 1138), Ibn Thufail (w. 1185), Ibn Rusyd (w. 1198), Fakhruddin ar Razi (w. 1210) dan lain-lain.
Keempat, tentang keraguan yang dimiliki Al-Ghazali. Dalam buku-bukunya Imam Al-Ghazali memang menyatakan bahwa ada masa dalam hidupnya ia mengalami keraguan. Tapi ia menyatakan bahwa keraguan adalah jalan untuk mencapai kebenaran. Dalam kitabnya Mizan al Amal, ia menyatakan,” Keraguanlah yang mengantarkan pada kebenaran. Barangsiapa yang tidak pernah merasa ragu, maka ia tidak menganalisa. Barangsiapa yang tidak menganalisa, maka ia tidak pernah mengamati. Barangsiapa yang tidak pernah mengamati, maka ia akan tetap dalam kebutaan dan kesesatan.”