Menyelami Hakikat Ikhlas
Pada salah satu ayat dalam surat al-Bayyinah, Allah SWT memberikan sebuah representasi dari perbuatan ikhlas, terjemahan ayat tersebut berbunyi:
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan (ikhlas) kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan salat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus (Al-Bayyinah: 05).
Di dalam tafsir Jalalain kata mukhlishina diinterpretasikan sebagai sebuah pemurnian diri seorang hamba dalam mengkonstruk relasi dengan Sang Maha Pencipta. Maka dari itu, tatkala seorang hamba beribadah kepada Allah, haruslah menafikan segala macam hal yang bisa memperkeruh kemurnian hati bila mana menghadap Allah.
Ikhlas memang bukanlah suatu perkara yang mudah untuk dijalani. Setiap aspek dalam kehidupan kita sebagai umat manusia tentu kita akan melakukan interaksi dengan sesama.
Dalam beberapa aktivitas dengan sesama terdapat perbuatan-perbuatan yang membutuhkan keikhlasan dan ketulusan seorang hamba dalam menjalaninya. Hal tersebut karena sebagai seorang yang beragama, kita mengharapkan balasan dari Tuhan terhadap perbuatan baik yang dilakukan. Apabila tidak mampu untuk mengendalikan diri dan hati, maka akan mengakibatkan seorang hamba tidak memperoleh balasan kebaikan dari Allah SWT.
Sayyid Al-Jalil Abi Ali Al-Fudhail bin ‘Iadh radhiallahu ‘Anhu, dalam kitab Al-Azkarnya Imam Nawawi beliau berkata:
ترك العمل لأجل الناس رياء، والعمل لأجل الناس شرك، والإخلاص أن يعافيَك الله منهما (الأذكار: 14).
Meninggalkan suatu perbuatan baik atau ibadah karena manusia merupakan implementasi dari sifat riak, dan mengerjakan suatu perbuatan karena manusia adalah suatu wujud kesyirikan, sementara ikhlash ialah suatu keadaan di mana Allah membebaskan seseorang dari kedua hal tersebut.
Hudzaifah Al-Mar’asyi rahimahullah berkata:
الإخلاص أن تستوي أفعال العبد في الظاهر والباطن (الأذكار: 14).