RESONANSI

Merajut Ukhuwah dengan Meningkatkan Keimanan

Ketika saya berkunjung ke Hagia Shopia, saya bertemu dengan seorang chef-juru masak asal Maroko. Kami mengobrol banyak hal di salah satu café komplek Sultan Ahmet tersebut, hingga dia pun membayar hidangan yang kami makan. “mengapa anda membayar hidangan kami?” tanyaku. Dia menjawab : “kita ber-saudara (nahnu ikhwah)”. Jawaban inilah yang menarik.

Kata “Ikhwah” (beserta derivasinya) acapkali kita dengar dan kita jumpai di beberapa momentum. Sebagai kalimat untuk mengajak kepada persatuan dan persaudaraan, nampaknya cukup ampuh digunakan oleh para pendakwah. Padahal realitanya (khususnya di Indonesia), jika ditelisik justru perlu kita tinjau ulang kembali. Apakah benar ukhuwwah yang kerap didengungkan berlaku dan dipraktikkan umat Islam? Kalaupun benar, mengapa kerap dijumpai pertikaian hingga memancing keributan?

Pada satu sisi, saya merasa senang dengan beberapa dai dan Lembaga dakwah yang tak kenal lelah dalam mengajak umat Islam untuk berukhuwah. Namun di saat yang sama, saya justru miris dengan kondisi umat sekarang. Mengingat seringkali perselisihan, perpecahan dan “pembedaan” golongan terjadi di tengah masyarakat kita. Semuanya itu, umumnya, didasari atas ta’ashub (fanatisme) setiap kelompok.

Memang, perasaan fanatik merupakan satu hal yang manusia tidak bisa lepas darinya. Jamaluddin al-Afghany menyatakannya sebagai sifat yang menetap didalam jiwa manusia. Karena ia menetap, maka ia juga yang memunculkan ambisi untuk mempertahankan dan menjaga apa yang diyakini kebenarannya. Bahkan dalam jangkauan yang lebih luas, bisa jadi kemunduran suatu bangsa disebabkan lemahnya fanatisme (Al-Afghāny, At-Ta’asshub, 29)

Namun demikian, mengetahui ambang batas fanatisme juga penting. Hal tersebut supaya tidak terjerumus ke dalam sikap ekstrim dan melampaui batas. Sebab, sikap fanatik yang melebihi batas bisa menjadi “racun” bagi pribadi maupun golongan. Kaum Syiah Rafidhah dan kelompok ISIS adalah di antara contohnya. Karena itu, munculnya kaum ekstremis, bagi Abu-l Hasan Nuruddin, disebabkan fanatisme yang berlebihan dalam memandang agama (Abu-l Hasan Nuruddin, Syammu-l ‘Awāridh fi dzimmi ar-Rawāfidh, 40).

Hakikat Ukhuwah

Kata ukhuwwah memiliki akar kata akh yang berarti saudara atau sahabat. Ar-Razy menyebut, kata akh berserta derivasinya, mengarah kepada dua hal atau lebih, terikat dalam ikatan pertemanan maupun keturunan. Ada juga yang memaknainya karena memiliki persamaan dalam ke-hamba-an (‘ābid) dan kecintaan (mawaddah).

Namun terkadang kata ukhuwah disalahartikan oleh sebagian orang. Mereka memaknainya untuk membenarkan pluralisme agama, yaitu membenarkan kebenaran agama selain Islam. “kebenaran tidak bersifat tunggal”, atau “jadilah seorang inklusif, yang terbuka dengan agama dan kelompok lain”. Inilah kalimat-kalimat “indah” yang kerap disebarluaskan, padahal layaknya fatamorgana ungkapan tersebut menyimpan keindahan palsu.

Sebagai orang beriman, suatu kebenaran pastilah bersifat tunggal. Tidak mungkin semua benar. Jika seandainya semua benar, lantas untuk apa Rasulullah mengajak kaisar Romawi, Persia, dan lainnya untuk masuk agama Islam. Begitu pula orang yang mengaku bersikap inklusif, di saat yang sama justru ia juga tidak terbuka kepada yang berlainan dengannya. Disinilah letak kepalsuannya.

Seruan diatas juga tidak menjadikan keimanan seseorang semakin meningkat, justru sebaliknya. Selain pendangkalan iman, mereka juga secara tidak langsung telah membuat “kelompok” baru dengan mengatasnamakan kaum “open minded”, “terbuka”, dan seterusnya. Jadi malah meningkatkan perselisihan.

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button