MK Sudah Tepat Larang Perkawinan Beda Agama
Perkawinan atau dengan kata lain biasa disebut dengan pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih Allah yang bertujuan untuk menjaga kelangsungan hidup umat manusia di muka bumi ini serta untuk menjaga suatu kehormatan dan martabat kemuliaan manusia.
Bagi seorang muslim perkawinan ini disyariatkan supaya manusia dapat memiliki keluarga dan keturunan yang sah dalam rangka untuk mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI), perkawinan adalah akad yang sangat kuat atau “mitsaqan gholidan” untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Di Indonesia aturan perkawinan ini diatur dalam UU No.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Undang-Undang ini merupakan bagian dari hukum positif Indonesia yang sudah berlaku secara formal dan yuridis. Selain itu, UU Perkawinan merupakan pijakan atau pegangan yang harus diakui oleh seluruh golongan masyarakat Indonesia.
Seiring dengan perkembangan masyarakat Indonesia, persoalan perkawinan semakin kompleks di tengah keberagamaan perbedaan. Pada Selasa, 31/01/2023 Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materil terhadap UU No 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
Gugatan ini dilayangkan oleh seorang pemeluk agama Katolik bernama Ramos Petege karena ia gagal menikahi kekasihnya yang beragama Islam. Ramos Petege menyatakan bahwa UU Perkawinan ini membuat ia kehilangan kemerdekaannya dalam memeluk agama dan kepercayaannya karena ia harus berpindah agama terlebih dahulu jika ingin menikahi kekasihnya yang berbeda agama.
Atas dasar hal tersebut Ramos Petege menggugat UU Perkawinan ke MK, terdaftar dengan nomor perkara 71/PUU-XX/2022. Akan tetapi MK memutuskan menolak keseluruhan gugatan uji materi atau Judicial Review (JR) terhadap Pasal 2 Ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 terkait pernikahan beda agama.
Menurut Hakim MK Wahidudin Adams, “Kaidah Pengaturan dalam norma Pasal 2 ayat (1) adalah perihal perkawinan yang sah menurut agama dan kepercayaan, bukan mengenai hak untuk memilih agama dan kepercayaaan”. Kemudian Ketua MK Anwar Usman menegaskan, “Mahkamah tetap pada pendiriannya terhadap konstitusionalitas perkawinan yang sah adalah yang dilakukan menurut agama dan kepercayaannya serta setiap perkawinan harus tercatat sesuai dengan peraturan perundang-undangan”.
Semua bergerak perlahan, mungkin kalimatnya revisi tetapi maksudnya cenderung ingin dilegalkan. Khawatir kemudian bila hal lain yang bertentangan dengan agama dilegalkan juga, tentu ini tidak sejalan dengan amanat konstitusi. Sehingga menurut hemat kami, tindakan yang dilakukan oleh MK adalah benar dan tepat karena negara kita ini berideologikan Pancasila, bukan sekuler.
Indonesia merupakan negara beragama, wujud pelaksanaannya pun tertuang dalam sila pertama yakni “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Kemudian Pasal 1 ayat (3) UUD NRI Tahun 1945 juga menyatakan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”.
Oleh karena itu masyarakat harus mengikuti hukum, bukan hukum yang mengikuti masyarakat. Kalau hukum itu mengikuti desakan masyarakat yang tidak paham maka Undang-Undang bisa menjadi karet sesuai keinginan dan kebencian orang-orang. Hukum tidak boleh menyalahi konstitusi, perkawinan adalah perintah agama, sehingga sah tidaknya suatu perkawinan harus sesuai dengan ajaran agama.