OPINI

MK Sudah Tepat Larang Perkawinan Beda Agama

Dalam agama Islam, secara terang-terangan melarang perkawinan beda agama. Allah berfirman dalam QS. Al-Baqarah ayat 221, “Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.

Hal ini selaras dengan KHI pada bab larangan perkawinan tentang perkawinan antarpemeluk agama, Pasal 40 huruf (c) menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan seorang pria dengan seorang wanita yang tidak beragama Islam.

Kemudian dalam QS. Al-Mumtahanah ayat 10, “Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka; maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkan-Nya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Selanjutnya, MUI melalui Keputusan Nomor 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 mengeluarkan fatwa tentang hukum larangan pernikahan beda agama. Pada prinsipnya disimpulkan: Perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah; dan perkawinan laki-laki muslim dengan wanita ahlu kitab menurut qaul mu’tamad adalah haram dan tidak sah. Sebelumnya Nahdlatul Ulama (NU) dalam fatwa yang ditetapkan dalam Muktamar ke-28 di Yogyakarta pada akhir November 1989, NU menegaskan nikah antara dua orang yang berlainan agama di Indonesia hukumnya tidak sah. Kemudian Muhammadiyah dalam keputusan Muktamar Tarjih ke-22 Tahun 1989 di Malang Jawa Timur telah mengatakan tidak boleh menikahi wanita non-muslimah atau ahlul kitab.

Namun apa yang terjadi jika MK telah mengeluarkan keputusan melarang perkawinan beda agama akan tetapi disamping peraturan itu semua terdapat wewenang dari Pengadilan dalam Pasal 35 huruf (a) UU Adminduk yang menyatakan bahwa perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan adalah perkawinan yang dilakukan antar umat-umat yang berbeda dengan agama. Peraturan ini mengambil kebijakan berdasarkan asas kesejahteraan yang kemudian hanya mendapatkan sah dimata negara, tidak mempedulikan kembali bagaimana sahnya suatu perkawinan dimata agama.

Jika kita tinjau kembali tentu hal ini bertentangan dengan Undang-Undang Perkawinan yang secara eksplisit melarang pemberlakukan perkawinan beda agama. Sehingga perlu untuk mengimbau kepada para hakim Pengadilan Negeri yang berada di lingkungan MA supaya tunduk pada putusan MK.

Dengan adanya keputusan MK ini apabila mereka dihadapkan oleh permohonan pengesahan perkawinan beda agama maka hal ini tidak boleh berlaku dan tidak boleh terulang lagi supaya tercapainya tertib hukum yang kembali sejalan dengan norma hukum tertinggi yakni Undang-Undang Dasar dan agama yang diakui di negara hukum Indonesia. MK menegaskan bahwa menurut UUD 1945 memang mengakui suatu perkawinan sah, sah disini adalah sah sesuai menurut ajaran agama.

Kesimpulannya adalah baik menurut negara maupun agama, perkawinan beda agama sangat tidak diperkenankan karena Indonesia sebagai negara non sekuler tidak diperbolehkan melangsungkan perkawinan beda agama. Sehingga sudah sepatutnya perkawinan dilaksanakan dalam satu jalur agama. MK sudah tepat melarang perkawinan beda agama.

Terlepas dari pro dan kontra, konstitusi kita yang pertama adalah berlandaskan Ketuhanan Yang Maha Esa. Agama manapun menyarankan lebih baik untuk mencari pasangan yang seiman. Dalam hal perkawinan beda agama tetap dilakukan maka itu merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.

Oleh karena itu penting bagi setiap orang yang akan menikah, baik yang beragama Islam ataupun agama lainnya supaya dapat memahami terlebih dahulu mengenai hukum di agama Islam atau agama lain khususnya mengenai perkawinan dan Undang-Undang Perkawinan yang berlaku di Indonesia supaya tahu bahwa perkawinan beda agama merupakan hal yang dilarang. []

Iwan Sumiarsa S.H dan Tita Nurhayati S.H, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Keadilan Rakyat

Laman sebelumnya 1 2

Artikel Terkait

Back to top button