Motif Bisnis di Balik Gereja Liar
Meraup keuntungan materi (uang) adalah salah satu motif di balik menjamurnya gereja, termasuk gereja liar di Indonesia.
“Apa bedanya gereja dengan Indomaret atau Alfamart?”. Pertanyaan satir ini merupakan kicauan pertama akun Twitter Judas Iskariot, @7udas_Isk, saat memulai kultwitnya yang diberi judul “Mengungkap Busuknya Bisnis Gereja.” “Pernah kebayang nggak tweeps kalau gereja dijual franchise-nya?,” tanyanya lagi.
Bagi pemilik akun ini, lontaran-lontaran nakalnya ini adalah untuk menggambarkan betapa bisnis gereja dewasa ini merupakan bisnis yang sangat menggiurkan. Tanpa modal yang besar tetapi bisa meraup keuntungan berlipat. Karena itu sangat “tidak mengherankan” bila dalam satu komplek pertokoan (Ruko) biasa didapati ada dua atau lebih gereja yang berdiri.
“Selama ini banyak kalangan beranggapan bahwa missi Kristenisasi gereja semata bermotifkan agama, padahal tujuan utamanya adalah bisnis. Bahkan bisnis gereja sangat menggiurkan dan lebih menguntungkan dari bisnis perumahan,” lanjutnya.
Memang benar, bagi umat Islam, tumbuh dan maraknya gereja di tengah masyarakat diartikan sebagai sebuah ancaman dan mengusik ketertiban sebab munculnya gereja berarti membawa misi pemurtadan. Apalagi jika gereja tersebut muncul di sebuah daerah yang sebenarnya tidak banyak penganut Kristennya.
Namun, bagi kalangan gereja sendiri, ternyata banyak munculnya gereja juga menjadi persoalan tersendiri. “Gereja pecah-pecah itu bukan menguntungkan saya, itu problem bagi saya,” kata mantan Sekretaris Umum Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia (PGI) Pendeta Richard Daulay dalam sebuah acara di Kantor Kemenag, Jakarta. Richard mengakui, terpecah-pecahnya gereja itu menunjukkan kelemahan bukan sebagai kekuatan.
“Perpecahan itu bukan kekuatan. Cuma egoisme, arogansi, politik bisnis gereja ada di situ. Aslinya gereja itu bersatu, fellowship, tidak ada denominasi,” kata Richard.
Richard menjelaskan, denominasi gereja lahir sesudah reformasi di Eropa yang sebenarnya terkait langsung dengan kesukuan di Eropa. Sehingga memunculkan Kristen Anglikan, Lutheran, Calvinis dan lainnya. “Denominasi lahir di Eropa, dibawa kemana-mana di seluruh dunia,” ungkapnya.
Mengenai motif bisnis pendirian gereja baru, Richard yang sebelum menjadi pimpinan PGI adalah pendeta kampung di Sumatera Utara ini, mengakui secara blak-blakan. “Abad 21, gereja sudah shifting (mengalami pergeseran, red), sudah bisnis. Gereja itu bisnis,” ungkapnya.
Pria berusia 63 tahun ini menyebutkan beberapa contoh gereja yang juga berbisnis dan menyebabkan pendetanya di penjara akibat kasus korupsi. Di Amerika, Korea Selatan dan Singapura, pendeta di gereja-gereja besar itu ditangkap karena kasus korupsi.
“Perpecahan gereja itu bukan karena perpecahan teologi, bukan karena pendapat yang berbeda, tapi karena pendapatan yang berbeda,” ungkap doktor asal UGM ini.