LAPORAN KHUSUS

Motif Bisnis di Balik Gereja Liar

Sementara estimasi pemasukannya dengan target jemaat yang hadir 1000 orang, akan didapatkan kolekte Rp5 juta (@Rp5000),  korban tantangan Rp20 juta, pengusaha dan sponsor untuk investasi Rp10 juta. Total pemasukan akan didapatkan Rp35 juta. Jadi, total keuntungan bila buka bisnis seperti ini untuk sekali ibadah adalah Rp18,5 juta.

Jika sebulan minimal dilakukan empat kali maka akan terkumpul keuntungan sebesar Rp74 juta. Belum lagi jika benar-benar mendirikan bangunan gereja, dana dari kalangan pengusaha Kristen dan luar negeri akan mengalir deras. “Kalau Protestan akan didanai para pengusahanya dan dari lembaga khusus milik mereka, sementara Katolik akan dapat dana dari Vatikan”, jelas mantan evangelis (penginjil) Bernadus Doni.

Cerita di atas bukan sekadar tulisan satir para blogger di dunia maya. Dalam praktiknya hal itu memang benar-benar terjadi. Motif bisnis menjadi sangat dominan dalam pendirian sebuah gereja baru. Hal ini diakui oleh Sekretaris Umum Persekutuan Gereja Indonesia (PGI), Pdt. Gomar Gultom. Menurutnya banyak para pendeta mengelola gereja sebagai bisnis atau perusahaan pribadi. Apalagi di Kristen Protestan dikenal adanya istilah denominasi. Seorang diri berhak mendirikan gereja.

“Jika dia tidak cocok dengan gereja mereka bisa memecahkan diri dan mendirikan gereja baru. Sebab kalau dilarang akan menyalahi ajaran Kristiani”, ungkap pendeta HKBP itu kepada seorang narasumber dari sebuah ormas Islam dalam kesempatan dialog offair di sebuah stasiun televisi swasta nasional beberapa tahun lalu.

Tidak mengherankan jika pertumbuhan gereja di Indonesia bak jamur di musim hujan. Data Kementerian Agama menyebutkan bahwa pertumbuhan gereja pasca adanya Peraturan Bersama Menteri Agama dan Dalam Negeri (PBM) sebesar 138 persen. Sementara masjid pertumbuhannya hanya 68 persen.

Rupanya, bisnis franchise bukanlah monopoli KFC atau McDonald semata. Tetapi sudah berkembang menjadi franchise gereja. Namanya bisnis, ada yang untung dan rugi. Karena itulah sering didengar adanya gereja yang bangkrut dan dijual. Di negara-negara Eropa dan Amerika, fenomena gereja dijual sangatlah banyak.

Selain motif Kristenisasi, tidak berlebihan bila disimpulkan salah satu motif maraknya pendirian gereja termasuk gereja-gereja ilegal adalah untuk meraup keuntungan ekonomi. Kesimpulan inilah yang membuat akun @7udas_Isk menjawab sendiri pertanyaan satirnya: apa bedanya gereja dengan Alfamart atau Indomaret? dengan jawaban, “Nggak ada bedanya.” Wallahu a’lam bissawab.

Shodiq Ramadhan

(Tulisan ini telah dimuat di Tabloid Suara Islam edisi 208, November 2015.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button