RESONANSI

Mr Kasman Singodimedjo dan Pencoretan Tujuh Kata Piagam Jakarta

“Tidak ada kamus Islam jang menjatakan bahwa si Muslim harus berhenti dari perdjuangannja selama ia masih hidup, karena hidup itu berdjuang, beribadat, beramal!.” (Prof. Dr. H. Kasman Singodimedjo, SH.)

Kasman Singodimedjo lahir, tumbuh dan berkembang dalam kondisi Indonesia masih terjajah. Karena itu, sebagaimana yang ia tulis dalam bukunya “Renungan dari Tahanan”, sepanjang hayatnya adalah perjuangan.

Keterangan mengenai kelahiran, asal muasal, keluarga dan bagaimana proses pendidikan Kasman Singodimedjo, secara lengkap dimuat dalam buku “Hidup itu Berdjuang, Kasman Singodimedjo 75 Tahun”.

Dalam buku itu ditulis, Kasman lahir pada Senin Wage, 25 Februari 1904 M atau 8 Muharam 1403 H di Dusun Clapar (Kalirejo), Kecamatan Bagelen, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Ia terlahir dari keluarga sederhana. Ayahnya bernama Singodimedjo, ibunya bernama Kartini.

Ayah Kasman adalah seorang “Modin” atau Lebai, yang bertugas melakukan tugas-tugas sosial keagamaan, mengurus orang-orang sakit atau meninggal dunia dan lain sebagainya. Sebelum menjadi Lebai, Singodimedjo pernah menjadi Sekretaris Desa (Carik). Sebelumnya juga pernah menjadi menjadi ambtenaar (pegawai negeri), yaitu sebagai “gewapende politiedienaar” (pegawai polisi yang dipersenjatai) di Tabanan, Bali, dan kemudian di Gunung Sugih, Lampung Tengah.

Selain menjabat sebagai Lebai, Singodimedjo juga memiliki sawah, tegalan dan tanah-tanah pekarangan, yang digunakan untuk bertani. Tetapi istrinyalah yang lebih banyak mencari nafkah setiap hari dengan berjualan kain dari pasar ke pasar. Dalam kondisi saat itu, keluarga ini tidak mampu membiayai anak-anaknya bersekolah, apalagi sampai ke sekolah tinggi.

Meski berangkat dari keluarga yang sederhana, dengan perjuangan yang ulet dan gigih, Kasman akhirnya berhasil memasuki sekolah-sekolah bergengsi mulai dari HIS (Hollandsch Inlandsche School), MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), STOVIA (School tot Opleiding van Indische Artsen) dan akhirnya masuk ke RHS (Rechts Hoge School) dan mendapatkan gelar Meester in de Rechten (Mr) atau yang sekarang disebut Sarjana Hukum.

Gelar Meester in de Rechten (Mr) saat itu adalah gelar yang sangat bergengsi. Mantan Perdana Menteri Mohammad Natsir dalam bukunya “Politik Melalui Jalur Dakwah” mengatakan, orang yang bergelar Mr adalah seorang yang luar biasa. Karena itu, Natsir pun pernah bercita-cita menjadi Meester. Hal yang sama juga diakui oleh Buya Hamka dalam tulisannya berjudul “Prof. Dr. Raden Kasman Singodimedjo Al Haj, Kenangan Setelah Usianya Mencapai 75 Tahun.”

Mengenai pendidikan Islam, Kasman memperoleh pengajaran Islam pertama dari sang ayah, Pak Singodimedjo. Saat sekolah di HIS Kutoarjo ia belajar agama Islam pada seorang Modin (Lebai) di Desa Sanepo. Kemudian, saat sekolah di MULO ia mendapatkan pengajaran dari pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan dan tokoh Muhammadiyah KH Abdul Azis yang datang dari Yogyakarta.

Ketika sekolah di STOVIA, Kasman mulai aktif dalam kepengurusan Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi kepemudaan Islam terbesar saat itu. Saat ada perubahan STOVIA menjadi GHS (Gneeskundige Hoge School), Kasman sudah menjabat sebagai Ketua JIB (periode 1930-1935). Pada saat inilah, karena Pemerintah Hindia Belanda menganggap aktivitas politik Kasman berbahaya, ia lalu dikeluarkan dari GHS. Beasiswanya dicabut.

1 2 3 4 5 6Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button