Mr Kasman Singodimedjo dan Pencoretan Tujuh Kata Piagam Jakarta
Setelah membacakan perubahan-perubahan tersebut, Hatta menyatakan keyakinannya: “Inilah perubahan yang maha penting menyatukan segala bangsa.” Setelah mengambil alih pimpinan, Soekarno menambahkan bahwa Undang-Undang Dasar yang dibuat ini Undang-Undang Dasar Sementara, Undang-Undang Dasar kilat Revolutiegrondwet.
“Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna,” janji Soekarno. (Endang Saifuddin Anshari, hlm. 46-48).
Mengenai pencoretan tujuh kata itu, kata Ridwan Saidi, hal itu diilakukan atas permintaan opsir Angkatan Laut Jepang, yang tanpa disebutkan namanya kepada Mohammad Hatta pada 17 Agustus 1945 sore.
Atas permintaan itu, pada 18 Agustus 1945 sebelum sidang PPKI, Mohammad Hatta mengajak Ki Bagoes Hadikusumo, KH Wachid Hasyim, Mr. Kasman Singodimedjo dan Mr Teuku Mohammad Hassan untuk melakukan pertemuan pendahuluan.
Menurut Prawoto, Ki Bagoes menghendaki agar “tujuh kata-kata” itu tidak dicoret begitu saja. Bahkan sangat tidak mudah untuk meyakinkan Ki Bagoes, untuk menerima usulan pencoretan itu. Maka disinilah peran besar Mr. Kasman Singodimedjo. Sebab Mr. Kasman-lah yang berhasil melobi Ki Bagoes Hadikusumo.
Berikut ungkapan Mr. Kasman kepada Ki Bagoes Hadikusumo yang disampaikan dengan menggunakan bahasa Jawa halus:
”Kyahi, kemarin proklamasi kemerdekaan Indonesia telah terjadi. Hari ini harus cepat-cepat ditetapkan Undang-Undang Dasar sebagai dasar kita bernegara, dan masih harus ditetapkan siapa Presiden dan lain sebagainya untuk melancarkan perputaran roda pemerintahan. Kalau bangsa Indonesia, terutama pemimpin-pemimpinnya cekcok, lantas bagaimana ?! Kyahi, sekarang ini bangsa Indonesia kejepit di antara yang tongol-tongol dan yang tingil-tingil. Yang tongol-tongol ialah balatentara Dai Nippon yang masih berada di bumi Indonesia dengan persenjataan modern. Adapun yang tingil-tingil adalah Sekutu termasuk di dalamnya Belanda, yaitu dengan persenjataan yang modern juga. Jika kita cekcok, pasti kita akan konyol. Kyahi, di dalam rancangan Undang-undang Dasar yang sedang kita musyawarahkan hari ini tercantum satu pasal yang menyatakan bahwa 6 bulan lagi nanti kita dapat adakan Majelis Permusyawaratan Rakyat, justru untuk membuat Undang-Undang Dasar yang sempurna. Rancangan yang sekarang ini adalah rancangan Undang-Undang Dasar darurat. Belum ada waktu untuk membikin yang sempurna atau memuaskan semua pihak, apalagi di dalam kondisi kejepit! Kyahi, tidakkah bijaksana, jikalau kita sekarang sebagai ummat Islam yang mayoritas ini sementara mengalah, yakni menghapus tujuh kata termaksud demi kemenangan cita-cita kita bersama, yakni tercapainya Indonesia Merdeka sebagai negara yang berdaulat, adil makmur, tenang tenteram, diridloi Allah.” (Hidup itu Berjuang, hal. 129)
Di kemudian hari, kata Prawoto, Ki Bagoes mengatakan bahwa dirinya yang mengusulkan kalimat “Ketuhanan Yang Maha Esa”, dan itu berarti tauhid, untuk mengganti tujuh kata yang dicoret pada pagi hari 18 Agustus 1945 itu.
Peristiwa penghapusan tujuh kata ini, sejatinya terjadi dalam suasana psikologis yang membuat tokoh-tokoh Islam berada dalam posisi “terjepit”.
Mengenai kondisi “kejepit” yang saat itu dihadapi dan suasana kejiwaan yang melanda dirinya dan Anggota PPKI pada rapat 18 Agustus 1945 itu, Mr. Kasman menceritakan secara lengkap: