Mr Kasman Singodimedjo dan Pencoretan Tujuh Kata Piagam Jakarta
“Waktu saya tiba di Pejambon, terbukti masih sedang ramai-ramainya diadakan lobbying di antara anggauta-anggauta Panitya. Dan tidaklah sulit bagi saya untuk segera mengetahui materi apakah yang sedang menjadi persoalan serius itu.
Adapun materi termaksud adalah usul dari pihak non Muslim di dalam Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia untuk menghapuskan 7 (tujuh) kata-kata dari Piagam Jakarta, yakni yang berbunyi: “dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
Dilihat dari sudut pengusul-pengusulnya adalah logis sekali, bahwa mereka itu mengambil kesempatan dari psychologis moment yang pada waktu itu “ready for use” untuk memajukan usulnya yang peka (gevoelig), justru pada suatu moment bahwa “kemerdekaan Indonesia” sebagai kenyataan pada hari kemarinnya (tanggal 17 Agustus 1945) telah diproklamirkan, artinya untuk mundur sudah tidak mungkin lagi dan kemungkinannya hanya satu, yaitu untuk maju terus dan menghadapi segala konsekwensi follow up dari proklamasi telah merdeka itu.
Dan justru konsekwensi itulah memerlukan atau membutuhkan kekompakan dan persatu-paduan dari keseluruhan bangsa Indonesia tanpa kecuali, apalagi untuk menghadapi Tentara Sekutu yang dengan kelengkapan senjatanya telah tercium sudah “tingil-tingil” hendak mendarat di daratan Indonesia, sedang Balatentara Dai Nippon menurut kenyataannya masih saja “tongol-tongol” berada di daratan Indonesia, pula lengkap dengan persenjataannya yang belum lagi sempat untuk diserahkan sebagai akibat kalah perang kepada Sekutu yang menang perang.
Memang pintar pihak minoritas non-Muslim itu. Pintar untuk memanfaatkan kesempatan moment psychologis. Dalam pada itu pembicaraan di dalam lobbying mengenai usul materi tersebut agak tegang dan sengit juga. Tegang dan sengit karena Piagam Jakarta itu pada tanggal 22 Juni 1945 toch dengan seksama dan bijaksana telah ditetapkan dan diputuskan bersama, bahkan terlebih dulu telah dipanitiakan dengan baik-baik oleh suatu ”Panitya Sembilan” di mana juga duduk seorang pemimpin nasional yang beragama Kristen, yakni Mr. AA. Maramis. Tegang dan sengit karena anggauta-anggauta yang beragama Islam dari Panitya Sembilan itu seperti Drs. Mohammad Hatta, Abikusno Tjokrosuyoso, Ustadz Abdul Kahar Muzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Ahmad Subardjo dan Kyahi Wahid Hasyim tidak begitu saja dapat menerima usul dari pihak non-Muslim itu untuk menghapuskan tujuh kata-kata yang prinsipil penting tersebut. Apa dari rumus tujuh kata-kata itu yang dapat dianggap sebagai merugikan golongan non-Muslim? Golongan ini sama sekali tidak akan berkewajiban atau diwajibkan untuk menjalankan syari’at Islam, tidak! Bahkan toleransi Islam menjamin golongan non-Muslim itu untuk mengamalkan ibadahnya sesuai dengan keyakinannya.
Bahkan golongan non-Muslim mempunyai kepentingan yang besar sekali, bahwa Ummat Islam itu akan mentaati dan menjalankan agamanya (Islam) setertib-tertibnya, sebab jika tidak begitu maka golongan minoritas non Islam itulah pasti akan menjadi korban dari pada mayoritas brandal-brandal, bandit-bandit dan bajingan selam yang tidak tertib Islam itu!
Tegang dan sengit, karena mau tidak mau orang-orang yang prinsipiil tersebut, terutama Ki Bagus Hadikusumo dan saya sebagai anggauta Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia, lantas ingat kepada sabda Allah tercantum di dalam Al Qur’an Surat As-Shaaf ayat 2 dan 3: “Hai orang-orang yang beriman, mengapa kamu berkata sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Besar kemurkaan di sisi Allah lantaran kamu berkata sesuatu yang tidak kamu kerjakan.”
Bung Karno pada waktu lobbying itu sengaja tidak mau ikut-ikut bahkan menjauhkan diri dari ketegangan dan kesengitan tersebut, mungkin karena beliau sebagai Ketua Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan terutama sebagai peserta dari Panitya Sembilan mengenai pembuatan Piagam Jakarta, merasa agak kagok untuk menghadapi Ki Bagus Hadikusumo dan kawan-kawannya, dan oleh karena itu beliau hanya mengirim putera Aceh Mr. TM. Hasan ke gelanggang lobbying.
Sayapun di dalam lobbying itu ingin sekali mempertahankanan Piagam Jakarta sebagai unit secara utuh, tanpa pencoretan atau penghapusan dari tujuh kata-kata termaksud, karena Piagam Jakarta itu adalah wajar dan logis sekali bagi Bangsa dan Rakyat Indonesia sebagai keseluruhan. Tetapi sayapun tidak dapat memungkiri apalagi menghilangkan, adanya situasi darurat dan terjepit sekaliitu. Kita bangsa Indonesia pada waktu itu sungguh terjepit antara Sekutu yang telah tingil-tingil hendak mendarat dan menjajah kembali di bawah penjajah Belanda (anggauta Sekutu) dan pihak Jepang yang tongol-tongol masih berada di bumi kita, yakni Jepang yang berkewajiban menyerahkan segala sesuatunya (termasuk Indonesia) kepada Sekutu (termasuk Belanda)!
Jepitan itulah yang membikin kami golongan Islam dan Panitya Persiapan Kemerdekaan Indonesia itu tidak dapat tetap ngotot prinsipiil, dan akhirnya kami menerima baik janji Bung Karno, yakni bahwa nanti 6 (enam) bulan lagi Wakil-wakil Bangsa Indonesia berkumpul di dalam forum Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) untuk menetapkan Undang-Undang Dasar yang sempurna sesempurna-sempurnanya, seperti (janji tersebut) dapat juga dibaca di dalam Undang-Undang Dasar 1945 bagian terakhir.”