Muawiyah: Antara Thymos dan Hilmnya
Muawiyah adalah saudara Ummu Habibah binti Abi Sufyan, istri Rasulullah.
Kebijakan Muawiyah kala berkuasa cenderung bisa ditafsirkan ‘serudak-seruduk’, serba cepat. Apa yang beliau lakukan dalam kebijakan pemerintahannya sangat mencirikan hasrat pengakuan, tidak dalam arti negatif. Bukan pula pengakuan yang menggerus nilai keikhlasan.
Hanya saja thymosnya Kekhalifahan Islam di bawah Muawiyah saat itu, terbalut dengan sikap hilm, mengingat hilm, ingat juga sifat Allah Ta’ala, Al-Halim. Artinya mirip dengan kesabaran. Halim dan juga hilm ialah sabar di saat punya kuasa, sabar di saat mampu membalas, sabar di saat sedang digjaya. Apa pun situasi yang menyertainya.
Muawiyah diakui oleh kawan maupun lawan, memang paling menonjol sifat hilmnya. Beliau lah negarawan Muslim paling berkuasa di zamannya, paling kuat dan berjaya, namun punya sifat sabar demi kejayaan bersama. Sifat hilm ini membuat seseorang bisa menguasai dirinya sendiri saat ada tekanan-tekanan yang merongrong kekuasaan, atau di saat bahaya mengancam kaum Muslimin. Pemimpin bersifat hilm, mampu tenang dan memutuskan kebijakan yang tepat dalam situasi apa pun.
Di masanya lah, jejak kekuasaan Islam berkibar di pulau-pulau yang tadinya milik peradaban Romawi dan Eropa, dari Kreta, Rodhes, Cyprus, Sicilia, hingga berdaulat juga di negeri sebelah Timurnya Romawi Byzantium.
Terkenang, Abu Ayyub Al Anshori, wafat di dekat pintu gerbang Konstantinopel saat gelora jihad di bawah pimpinan Muawiyah. Ya, pertama kalinya umat Islam menggedor benteng capitol Romawi Byzantium itu di masa Muawiyah. Di paruh pertama dekade kekuasaannya.
Muawiyah tahu betul, pemersatu Islam ialah gelora jihad. Selain menegakkan kalimatullah, ini bisa menjadi pelampiasan thymosnya kaum Muslimin di masa itu. Mana mungkin peradaban yang umatnya dari Rasul terbesar jika tidak diakui oleh peradaban jagoan lainnya. Politik dan militer di masa Muawiyah, perwujudan thymosnya umat Islam. Perilaku Kekhalifahan di masa itu kerap membuat panas dingin para kaisar Byzantium.
Bukan Muawiyah namanya jika tidak nyentrik dalam berpolitik. Beliau menikahi Maysun binti Bahdal Al-Kalbiyyah, seorang penyair wanita dari Suku Kalb beragama Nasrani, saat masih menjabat gubernur. Maysun adalah ibunya Yazid bin Muawiyah, khalifah kedua Bani Umayyah dan ketujuh dalam sejarah Islam keseluruhan.
Muawiyah telah mengamankan pemberontakan sisa-sisa suku Nasrani di Syam. Pernikahan itu mengamankannya dari pemberontakan suku-suku Arab Nasrani yang tadinya bersekutu dengan Romawi. Dari sini kita paham, mengapa Nasrani Syam sangat hormat dengan Muawiyah. Namun yang paling mengesankan ialah, politiknya dalam mengamankan pihak-pihak yang berseberangan dengannya.
Beliau jadikan suku-suku yang punya nama di wilayah teritori kekuasaan Islam untuk punya kuasa otonomi di daerah masing-masing. Dengan kebijakan ini, Muawiyah bisa fokus dengan futuhat yang menyatukan kaum Muslimin, tidak direpotkan dengan urusan internal. Sifat hilm sangat membantu sang khalifah, padahal beberapa tahun sebelumnya Perang Jamal (36 H) dan Perang Shiffin (37 H) telah berkecamuk dan sangat membekas di hati kaum Muslimin. Persatuan Islam itu dibangun dengan hasrat pengakuan dari bangsa-bangsa lain dan hilm yang melekat di sifat sang pemimpin. Tak mungkin dibayangkan, cara menyatukan ratusan suku-suku di bawah naungan Kekhalifahan tanpa sifat hilm.