Muslimah, Wajibkah Bercadar? (Bag-4)
Sementara itu, hadits mengenai Fadhl ibn ‘Abbâs, di dalamnya tidak terdapat dalil tentang wajibnya cadar. Justru sebaliknya, di dalamnya terdapat dalil tidak diwajibkannya cadar. Sebab, wanita dari Khats’am itu bertanya kepada Rasul Saw, sedangkan wajahnya sendiri tampak (tidak tertutup). Buktinya adalah pandangan al-Fadhl kepadanya. Bukti yang lain adalah apa yang dinyatakan di dalam hadits ini melalui riwayat yang lain: “Maka Rasulullah Saw memegang al-Fadhl dan memalingkan wajahnya ke arah yang lain.” Kisah ini diriwayatkan oleh ‘Alî ibn Abî Thâlib ra dan ia menambahkan: Al-‘Abbâs ra kemudian bertanya kepada Rasulullah Saw: “Ya Rasulullah, mengapa engkau memalingkan leher sepupumu?” Rasulullah Saw menjawab, “Karena aku melihat seorang pemuda dan seorang pemudi yang tidak aman dari gangguan setan.”
Maka hadits tentang wanita dari Khats’am itu justru merupakan dalil tentang tidak adanya kewajiban mengenakan cadar, bukan dalil wajibnya cadar. Sebab, Rasul sendiri melihat wanita dari Khats’am itu sementara wajahnya tampak. Adapun Rasul memalingkan wajah al- Fadhl, hal itu karena beliau melihat al-Fadhl memandang wanita tersebut dengan disertai syahwat dan sebaliknya wanita itu juga memandang al-Fadhl. Dalilnya adalah riwayat ‘Ali ra: “… yang tidak aman dari gangguan setan”
Karena itulah, Rasulullah Saw memalingkan wajah al-Fadhl, karena ia memandang wanita tersebut dengan disertai syahwat, bukan semata memandangnya biasa saja. Padahal, memandang wanita asing dengan disertai syahwat, meskipun memandang wajah dan kedua telapak tangan, adalah Tindakan haram.
Adapun hadits tentang pandangan yang tiba-tiba (tidak disengaja), Rasulullah Saw memerintahkan Jarîr untuk memalingkan pandangannya, yakni untuk menundukkan pandangannya. Hal itu adalah dari sisi ghadh al-bashar yang dinyatakan di dalam firman Allah SWT: “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (TQS an-Nûr [24]: 30)
Yang dimaksud ayat ini adalah pandangan yang tiba-tiba kepada selain wajah dan kedua telapak tangan wanita, yang termasuk aurat, bukan pandangan terhadap wajah dan kedua telapak tangan. Sebab, memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita merupakan tindakan yang dibolehkan, meskipun secara sengaja. Dalilnya adalah adanya kebolehan untuk memandang wajah dan kedua telapak tangan wanita sebagaimana yang tercantum dalam hadits tentang seorang wanita dari Khats‘am sebelumnya. Selain itu, Rasulullah Saw sendiri telah memandang wajah kaum wanita tatkala mereka membaiat beliau dan pada saat beliau menyampaikan nasehat dan peringatan kepada mereka. Kenyataan ini menunjukkan bahwa, yang menjadi pokok masalah adalah pandangan yang tidak disengaja terhadap anggota tubuh wanita selain wajah dan kedua telapak tangannya.
Sedangkan hadits ‘Alî ra: “Janganlah engkau ikuti pandangan pertama dengan pandangan
berikutnya.” Hadits ini merupakan larangan untuk mengulang-ulang pandangan kepada wanita, bukan larangan dari semata memandang biasa saja tanpa maksud (tidak tendensius).
Atas dasar ini, di antara hadits-hadits yang dijadikan dalil oleh orang yang menyerukan bahwa Allah telah mensyariatkan cadar, justru di dalam hadits-hadits itu tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan wajibnya cadar. Dengan begitu jelaslah bahwa tidak terdapat satu dalil pun yang menunjukkan bahwa Allah telah mewajibkan cadar bagi kaum Muslimah. Atau yang menunjukkan bahwa wajah dan kedua telapak tangan merupakan aurat, baik di dalam maupun di luar shalat. Dalil-dalil yang mereka kemukakan tidak terdapat di dalamnya aspek yang kuat guna dijadikan dalil atas wajibnya cadar.
Adapun keberadaaan wajah dan kedua telapak tangan bukan bagian dari aurat wanita, dan bahwa wanita boleh keluar ke pasar dan berjalan di manapun sementara wajah dan kedua telapak tangannya tampak, hal itu telah ditetapkan di dalam Al-Qur’an dan al-Hadits.
Di dalam Al-Qur’an, Allah SWT telah berfirman: “dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya.” (TQS an-Nûr [24]: 31)