NUIM HIDAYAT

Nafsu Kuasa

Hari-hari ini masyarakat dipertontonkan dengan pertunjukan politik yang seru. Pertarungan antar mantan jenderal memperebutkan sebuah partai (Partai Demokrat). Masyarakat tentu banyak yang memihak SBY, karena SBY tokoh yang mendirikan Partai Demokrat.

Entah ‘setan’ mana yang membisiki Moeldoko sehingga dengan beraninya tanpa rasa malu ingin mengambil alih Partai Demokrat. Moeldoko dengan mantan petinggi Demokrat bersekongkol mengadakan Kongres Luar Biasa. Dan dengan cepat Kongres diadakan di Deli Serdang, Moeldoko terpilih. Apa langkah Moeldoko selanjutnya?

Ia tentu akan mendekati DPD dan DPC Partai Demokrat di seluruh tanah air. Dan dengan iming-iming tertentu –mungkin berupa materi, jabatan dan lain-lain- sejumlah cabang bisa saja kemudian mendukung Moeldoko. Sehingga bila nanti Menkumham memutuskan siapa yang sah, Moeldoko dan kawan-kawannya telah siap dengan perangkat partainya.

Kenapa mantan petinggi Demokrat nekat membuat KLB dan mendukung Moeldoko menjadi Ketua Umum Partai? Ya, mareka kecewa pada SBY. Mantan Presiden ini dianggap mereka lebih mendulukan kepentingan keluarga daripada partai. Padahal partai yang membentuk dan membesarkan bukan hanya SBY, tapi mereka bersama. Mereka merasa suaranya tidak lagi didengar dan ‘disingkirkan’ dari partai.

Bertemulah kepentingan antara mereka yang kecewa dengan SBY dan Moeldoko. Bukan rahasia lagi, bahwa Moeldoko memang mempunyai keinginan untuk maju menjadi kandidat presiden tahun 2024. Ia butuh kendaraan. Simbiosis mutualisme terjadi antara mantan petinggi demokrat dengan Moeldoko.

Jadi siapa yang salah? Keduanya salah. Tapi kesalahan Moeldoko dkk tentu lebih besar. Karena ia menggelar KLB dengan menabrak aturan yang ada. Kalau aturan yang telah disepakati bersama di partai ditabrak, nanti SBY juga bisa melakukan yang sama bila ia sampai kalah di formalitas hukum. Maka terjadilah ‘chaos’.

Itulah kelemahan para jenderal. Petinggi-petinggi militer kita karena dididik sekuler –kebanyakan pendidikannya di Amerika- maka mayoritas mereka tidak bisa mengerem nafsu kuasanya. Mereka tahunya kebahagiaan hidup itu berkuasa, banyak harta dan ‘berfoya-foya’. Pendidikan militer di Amerika adalah pendidikan yang mendewakan materialisme. Pendidikan ini hanya melatih fisik dan akal saja. Kebutuhan ruhani manusia biasanya dikesampingkan. Mentor-mentor militer di sana yang tidak mengerti Al-Qur’an, menganggap semua agama saja. Mereka menganut paham pluralisme agama.

Maka ketika kuasa (dengan berpolitik) menjadi tujuan, maka segala cara dilakukan. Karena kekuasaan, bagi kaum materialis adalah puncak kenikmatan. Dengan kuasa, penghormatan, tepuk tangan, harta, bahkan ‘wanita’ bisa didapat dengan mudah.

Lihatlah bagaimana Presiden George W Bush –penasihat-penasihatnya banyak para pendeta- dengan kekuatan militernya menghancurkan negara Irak dan membunuh sekitar satu juta orang. Dengan kedok menghancurkan sang diktator Saddam, Bush sebenarnya ingin menguasai ladang-ladang minyak di Irak. Karena negeri 1001 malam itu punya cadangan minyak ‘nomor dua’ terbesar di dunia. Bush perlu stok BBM yang besar untuk kepentingan militer Amerika di dunia. Karena negara superpower ini punya puluhan kapal induk dan ribuan pesawat, yang semuanya perlu bahan bakar. Langkah-langkah Bush yang kejam itu dibenarkan oleh petinggi militer Amerika, karena mereka ingin terus menjadi penguasa dunia dengan kekuatan militernya.

Nafsu kuasa ini juga yang menyebabkan SBY menaikkan anaknya AHY, meski bila ditimbang secara profesional, banyak kader-kader demokrat yang lebih mumpuni daripada AHY. Nafsu kuasa –ingin menjadi Presiden 2024- ini juga yang membakar jiwa Moeldoko untuk mengadakan KLB dengan melabrak aturan yang ada pada Partai Demokrat.

Manusia mempunyai potensi untuk menjadi Firaun. Firaun kecil atau Firaun besar. Bila keimanan manusia pada Allah rendah, maka manusia cenderung menjadikan manusia lain ‘untuk menyembah’ dirinya. Dengan bahasa yang halus dan indah, Al-Qur’an menyatakan,

1 2Laman berikutnya

Artikel Terkait

Back to top button