Nasionalisme Menurut Hasan al Bana
Ide nasionalisme menjadi perdebatan yang menarik beberapa gerakan Islam. Mereka yang ‘menentangnya’ menjelaskan bahwa menjelang atau setelah runtuhnya Khilafah Utsmaniyah di Turki 1924, Barat meluncurkan ide-ide nasionalisme atau kesukuan. Ide nasionalisme dianggap menghalangi pembentukan Khilafah Islamiyah.
Barat berhasil dan kini negeri-negeri Islam telah terpecah-pecah menjadi negeri yang ‘mandiri’. Meski demikian, kebanyakan kaum Muslim di negeri-negeri berbeda tetap punya perasaan sama bila kaum Muslim di luar negerinya dizalimi. Masing-masing organisasi Islam kini kebanyakan ingin menjayakan negerinya dan menjadikan negerinya Islami. Mereka menerima ide nasionalisme yang tidak bertentangan dengan Islam. Di antaranya: Muhammadiyah, NU, Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia, Al Iryad, partai-partai Islam dan lain-lain.
Yang menarik adalah mengamati pendapat pendiri Al Ikhwan al Muslimun (Ikhwan) –pergerakan Islam ‘terbesar’ di dunia- Hasan al Bana tentang nasionalisme. Sebelum kita membahas pendapat Hasan al Bana tentang nasionalisme, kita melihat sekilas biografi tokoh besar pergerakan Islam ini yang ‘menakjubkan’.
Hasan al Bana lahir di desa Mahmudiyah, Mesir 1906. Umur 14 tahun hafal Al-Qur’an dan sejak kecil sampai dengan remaja ia dididik dengan pendidikan Islam yang benar.
Ia wafat syahid diberondong senapan, di mobilnya oleh tentara Raja Fuad (penguasa Mesir), pada 12 Februari 1949. Ia adalah tokoh pendiri gerakan Ikhwanul Muslimin. Karya-karyanya, meskipun sedikit, karena ia wafat ketika muda, menjadi referensi kader-kader ikhwan sampai kini.
Ia adalah seorang ulama besar, mujtahid dan mujahid. Ceramah-ceramahnya yang menyentuh dan menarik tiap Selasa di Mesir, diikuti ribuan ulama dan kaum awam. Karya-karyanya antara lain: Mudzakkirat ad Da’wah wad Daiyyah, Majmuah Rasail, dll.
Al-Bana dan Ikhwanul Muslimin
Pendiri Ikhwan adalah Hasan al-Bana (1906-1949), seorang ulama kelahiran Buhairah, Mesir. Al-Bana dengan pemikiran-pemikiran besarnya, telah mampu merumuskan Islam, sehingga secara dapat dipahami mulai dari Muslim intelektual sampai Muslim yang awam.
Gerakan Ikhwanul Muslimin dimulai dari kota Ismailiyah Mesir. Yaitu ketika enam orang tokoh Ismailiyah datang ke al-Bana—setelah banyak mendengar ketokohan dan ceramah-ceramah al-Bana yang menarik dan mendalam—mengusulkan pembentukan sebuah organisasi Islam. Keenam tokoh itu adalah: Hafidh Abdul Hamid, Ahmad a-Kushari, Fuad Ibrahim, Abdur Rahman Hasbullah, Ismail Izz, dan Zaki al-Maghribi).
Di antara tokoh yang datang itu bertanya ke al-Bana, “Nama apa yang cocok untuk jamaah kita Tuan? Apakah kita membentuk yayasan, perkumpulan, aliran tarekat atau satu persatuan agar gerakan kita menjadi satu badan resmi?” Al-Bana menjawab, “Kita tidak akan membentuk ini dan itu, dan kita tidak terlalu berkepentingan dengan persoalan resmi atau tidak. Kita adalah bersaudara dalam mengabdi kepada Islam. Oleh karena itu, saya namakan perkumpulan kita ini Persaudaraan Islam atau Ikhwanul Muslimin.” Kejadian itu berlangsung sekitar Maret 1928. (Abdul Halim Mahmud, Ikhwanul Muslimin Konsep Gerakan Terpadu Jilid I (Jakarta: Gema Insani Press, Juli 1997), hal. 25-29. Lihat juga Muhammad Sayyid al-Wakil, Pergerakan Islam Terbesar Abad ke-14 H (Jakarta: As-Syaamil Press, 2001). hal. 50-51.)
Empat tahun kemudian, sekitar Oktober 1932, al-Bana dipindahtugaskan sebagai guru ke sekolah Abbas pertama di Kairo, tepatnya di kawasan Sabtiah.
Perpindahan itu menyebabkan pengikut dan aktivitas Ikhwan justru makin cepat berkembang. Di Kairo ia tinggal di sebuah gedung kampung Nafi’ no. 24, Srujiah. Gedung tersebut sekaligus digunakan untuk markas umum Ikhwanul Muslimin dan al-Bana tinggal di tingkat atas gedung tersebut.