NUIM HIDAYAT

Nasionalisme Menurut Hasan al Bana

Nasionalisme

Tentang nasionalisme, Imam Besar Ikhwanul Muslimin ini menyatakan: “Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah keharusan bekerja serius untuk membebaskan tanah air dari penjajah, mengupayakan kemerdekaannya, serta menanamkan makna kehormatan dan kebebasan dalam jiwa putra-putranya, maka kami bersama mereka dalam hal itu.

Jika nasionalisme yang mereka maksud adalah memperkuat ikatan antar-anggota masyarakat di satu wilayah dan membimbing mereka menemukan cara pemanfaatan kokohnya ikatan untuk kepentingan bersama, maka kami juga sepakat dengan mereka. Karena Islam menganggap itu sebagai kewajiban yang tidak dapat ditawar. Nabi Saw bersabda: “Dan jadilah kamu hamba-hamba Allah yang bersaudara….”

Kemudian ia melanjutkan:

“Sesungguhnya Islam tegas-tegas mewajibkan, hingga tidak ada jalan untuk menghindar, bahwa setiap orang harus bekerja untuk kebaikan negaranya, memberi pelayanan maksimal untuknya, mempersembahkan kebaikan yang mampu dilakukan untuk umatnya dan melakukan semua itu dengan cara melakukan semua itu dengan cara mendahulukan yang terdekat, kemudian yang dekat, baik famili maupun tetangga. Sampai-sampai Islam tidak membolehkan memindah pembagian zakat kepada orang yang jaraknya melebihi jarak dibolehkannya mengqashar shalat kecuali dalam keadaan darurat. Hal ini untuk lebih mengutamakan kerabat dekat dalam berbuat kebaikan.”

Menurut al Bana, Ikhwan berkeyakinan bahwa khilafah adalah lambang kesatuan Islam dan bukti adanya keterikatan bangsa Muslim. Ia merupakan identitas Islam yang wajib dipikirkan dan diperhatikan oleh kaum Muslimin. Khalifah adalah tempat rujukan bagi pemberlakuan sebagian besar hukum dalam agama Allah. Oleh karena itu, para sahabat lebih mendahulukan penanganannya daripada mengurus dan memakamkan jenazah Nabi Saw sampai mereka benar-benar menyelesaikan tugas tersebut (memilih khalifah).

Hadits yang menyebutkan kewajiban mengangkat imam, penjelasan tentang hukum-hukum kepemimpinan, dan perincian segala sesuatu yang terkait dengannya menegaskan bahwa di antara kewajiban kaum muslimin ialah serius memikirkan masalah khilafah, sejak ia diubah manhajnya sampai kemudian dihapuskan sama sekali hingga sekarang.

Langkah untuk mengembalikan eksistensi khilafah, menurut lelaki yang hebat ini, harus didahului oleh langkah-langkah berikut:

  1. Harus ada kerjasama yang sempurna antara bangsa-bangsa muslim menyangkut masalah wawasan, sosial, dan ekonomi.
  2. Setelah itu membentuk persekutuan dan koalisi, serta menyelenggarakan berbagai pertemuan dan muktamar di antara negara-negara tersebut. Sungguh muktamar parlemen Islam untuk membahas masalah Palestina di London yang mengundang kerajaan-kerajaan Islam untuk menyerukan pengembalian hak-hak bangsa Arab di bumi Palestina yang diberkahi adalah pertanda baik dan langkah maju dalam hal ini.
  3. Setelah itu membentuk Persekutuan Bangsa-bangsa Muslim. Jika hal itu bisa diwujudkan dengan sempurna, akan dihasilkan sebuah kesepakatan untuk mengangkat imam yang satu, dimana ia merupakan penengah, pemersatu, penentram hati, dan naungan Allah di muka bumi.

Beratnya tugas ‘mengislamkan negeri-negeri Islam’, ini dirasakan oleh Hasan al Bana. Ia menyatakan:

“Sebaliknya, kami meyakini bahwa di leher setiap Muslim tergantung amanah, dimana ia wajib mengorbankan jiwa, darah dan harta untuk menunaikannya. Amanah tersebut ialah membimbing manusia dengan cahaya Islam dan mengibarkan bendera Islam di seluruh bumi. Semuanya dilakukan bukan untuk mencari harta, popularitas, kekuasaan atas orang lain dan bukan pula untuk memperbudak bangsa lain. Tetapi untuk mencari ridha Allah semata, membahagiakan alam dengan agama-Nya dan meninggikan kalimat-Nya. Inilah yang mendorong kaum ‘Salaf Salih’ –semoga Allah meridhai mereka semua- untuk melakukan pembebasan-pembebasan suci yang telah mencengangkan dunia dan mengungguli berbagai pembebasan yang pernah dikenal sejarah, dalam hal kecepatan, keadilan, kepiawaian dan keutamaan.” (Majmu’atur Rasail – Kumpulan Risalah Dakwah Hasan al Bana, Al I’tishom Cahaya Umat, hlm. 37-38).

Nuim Hidayat, Anggota DDII, MIUMI dan MUI Depok.

Laman sebelumnya 1 2 3

Artikel Terkait

Back to top button