SUARA PEMBACA

Negeriku, Negeri Dilan(da) Impor

Impor, lagi-lagi impor. Di negeri yang katanya gemah ripah loh jinawi, pangan pun tak luput dari impor. Pada awal tahun 2018 saja, publik sudah dikejutkan dengan keputusan pemerintah melalui Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, Kamis, 11/1/2018, yang akan mengimpor sebanyak 500 ribu ton beras dari Thailand dan Vietnam.

Meski keputusan impor beras dengan dalih untuk meredam kenaikan harga beras. Kontan kebijakan pemerintah itu menimbulkan polemik, lantaran sejumlah daerah di Indonesia mengaku mengalami surplus produksi beras pada awal tahun ini (Republika.co.id, 13/1/2018).

Belum selesai publik dikejutkan dengan keputusan pemerintah mengimpor beras. Publik kembali dihebohkan dengan wacana pemerintah untuk mengimpor 3,7 juta ton garam di 2018.

Tak ayal wacana pemerintah untuk kembali mengimpor garam membuat petani geram. Ketua APGRI, Jakfar Sodikin angkat bicara, menurutnya impor garam industri sebanyak 3,7 juta ton sangat merugikan para petani garam di Indonesia, termasuk di Surabaya. Pasalnya di Kota Pahlawan saja, dia bilang, ada 150 ribu orang yang menggantungkan hidupnya dari produksi dan penjualan garam (Liputan6.com, 29/1/2018).

Polemik klaim rekomendasi pengadaan kuota impor garam antara Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pun bergulir di tengah publik. Hingga berakhir dengan ditetapkannya Kementerian Perindustrian sebagai instansi yang memberikan rekomendasi impor garam industri.

Dengan dalih untuk memenuhi kebutuhan garam industri, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyebutkan impor bahan baku harus dilakukan, sebab kualitas garam industri berbeda dengan yang produksi oleh petani lokal (Detik.com, 04/04/2018).

Dikutip dari detik.com, 03/8/2018, pada awal Agustus 2017 saja, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia telah melakukan impor beberapa komoditi pangan, seperti beras khusus, tepung terigu, gula pasir, daging jenis lembu, jenis lembu, garam, mentega, minyak goreng, bawang putih, lada, kentang, cabai kering tumbuk, cabai awet sementara, dan telur unggas.

Sayangnya, di tengah maraknya impor pangan yang dilakukan pemerintah. Berdasarkan temuan BPK, ada sembilan kebijakan pengelolaan tata niaga impor pangan yang tidak memenuhi kepatuhan terhadap ketentuan perundang-undangan. Temuan BPK tersebut berdasarkan laporan pengelolaan tata niaga pangan yang dilakukan Kementerian Perdagangan pada tahun anggaran 2015 sampai Semester I-2017 (cnbcindinesia.com, 03/4/2018).

Janji-janji Jokowi di waktu kampanye tentang swasembada pangan hanya sebuah fiksi semata. Terbentur dengan realitas negeri yang dilanda impor pangan. Bukan hanya itu saja, maraknya impor pangan, telah membuka lebar pintu bagi masuknya mafia kartel pangan. Lagi-lagi impor tak hanya membuat negara tekor tapi juga gempor.

Tak berhenti di impor pangan saja. Pada Kamis, 5/4/2018, Presiden Joko Widodo telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing. Perpres ini mempermudah masuknya tenaga kerja asing (TKA) ke Indonesia untuk meningkatkan investasi.

Alih-alih menepati janji membuka 10.000 lapangan kerja untuk rakyat, pemerintah sama saja sedang melakukan upaya mengimpor TKA lewat Perpres Nomor 20 Tahun 2018. Rakyat bukannya berdaya di negeri sendiri tapi diperdaya oleh penguasa negeri. Miris!

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 20 Tahun 2018 ini pun berimbas pada dunia pendidikan. Menurut Menristekdikti, Mohammad Nasir, aturan tersebut dapat memfasilitasi dan mempermudah dosen-dosen asing mengajar di Indonesia.

Pemerintah berencana mengimpor tenaga pengajar untuk perguruan tinggi di Tanah Air. Mohammad Nasir mengatakan, Indonesia memerlukan 200 tenaga dosen asing agar masuk reputasi dunia di bidang pendidikan (katadata.co.id, 11/4/2018).

Komplit sudah negeri ini dilanda impor. Mulai dari garam hingga beras. Bahkan tenaga kerja dan dosen pun tak luput dari impor. Seolah-olah negeri ini tak memiliki apa pun untuk diberdayakan. Padahal jika SDA dikelola dengan benar di tangan penguasa yang benar, maka menjadi negara swasembada pangan adalah sebuah keniscayaan.

Tak hanya itu saja, pemerintah harus dapat berbenah dan instropeksi diri. Jika TKA disambut dengan tangan terbuka, lalu bagaimana kasus dr. Terawan yang tertawan di negeri sendiri? Banyak kasus para ilmuwan dan para ahli lari dari Indonesia dan berkiprah di luar negeri. Karena kurangnya apresiasi dan penghargaan oleh negara. Mereka dipersulit berkarya di negeri sendiri, sehingga memutuskan untuk mengabdi di negeri orang.

Sederet impor yang dilakukan pemerintah membuktikan Indonesia bukanlah negara yang berdikari. Makin deras kran impor dibuka makin tergantung pula ekonomi Indonesia kepada para kapitalis asing. Ketergantungan impor menjadi upaya para kapitalis untuk menancamkan hegemoni ekonomi kapitalisme atas negeri lebih dalam lagi. Sehingga makin mudah pula para kapitalis mengontrol negeri ini.

Beginilah jika suatu negeri dikelola dan diurus oleh seseorang yang bukan ahlinya. Bukan kebaikan yang di dapat, justru kekacauan di atas negara. Akibat dipimpin penguasa yang tak becus mengurus rakyat dan negara. Rakyat pun menjadi tak berdaya menjadi korban karena ulah penguasa, yang bukan negarawan sejati.

Apatah lagi dalam sistem yang sudah cacat dari lahirnya. Bernama sekularisme yang melahirkan sederet turunan, mulai dari demokrasi hingga kapitalisme. Terbukti pemerintah hanya menjadi alat kepanjangan penjajah para kapitalis dan kawanannya. Alih-alih mensejahterahkan rakyat, malah mencekik rakyat dengan kebijakan-kebijakan yang membuat rakyat makin susah.

Maka adalah sebuah keniscayaan berlepas diri dari sistem yang rusak ini. Bukan hanya mengganti rezim ala demokrasi, yang menghasilkan senyum sumringah para koruptor. Tapi juga mengganti sistem sekularisme yang menjadi akar problematika negeri ini.

Saatnya memberikan kesempatan kepada Islam untuk diterapkan secara kaaffah sebagai solusi. Atas segunung masalah yang menimpa negeri. Atau kah kita masih mau berlama-lama dalam tirani sistem bobrok ini? Tentu tidak bukan?.

Wallahu’alam bisshawwab.

Ummu Naflah
Penulis Bela Islam, Member Akademi Menulis Kreatif

Artikel Terkait

Back to top button